Liputan6.com, Jakarta - Tikus berpotensi membawa berbagai penyakit berbahaya seperti pes, leptospirosis, rickettsiosis, dan hantavirus.
Sayangnya, kasus persebaran penyakit zoonosis melalui hewan, khususnya tikus, masih belum banyak terungkap di Indonesia.
Minimnya informasi di masyarakat membuat upaya pencegahan belum dilakukan secara rutin, ditambah gejala penyakit yang kerap mirip demam berdarah atau tifus. Serta, sulitnya pemeriksaan laboratorium menyebabkan banyak kasus tidak terdeteksi.
Menjawab tantangan tersebut, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Pusat Riset Biologi Molekuler Eijkman mengembangkan Pestorita (PES, Leptospirosis, Rickettsiosis, dan Hantavirus), yakni alat deteksi dini buatan lokal yang murah, mudah, dan dapat digunakan di fasilitas kesehatan sederhana.
Periset Biomolekuler Eijkman BRIN, Farida D. Handayani, menjelaskan riset Pestorita dirancang dalam peta jalan tiga tahun, mulai dari pemetaan genetik, pengembangan in-house PCR, hingga pembuatan alat tes cepat atau rapid test.
“Riset ini merupakan upaya menghasilkan alat deteksi lokal yang praktis dan terjangkau untuk mendukung diagnosis penyakit zoonosis,” ungkap Farida, pada Jumat (29/8).
Penelitian ini melibatkan kolaborasi dengan Universitas Amsterdam, perusahaan swasta, serta laboratorium khusus Leptospira di Kawasan Kerja Bersama M.F. Sustriayu Nalim, Salatiga. Saat ini, Farida bersama tim fokus pada pengembangan deteksi leptospirosis dengan membandingkan kinerja empat produk RDT (Rapid Diagnostic Test) IgM yang tersedia di Indonesia.
“Kami berusaha mengembangkan RDT yang paling efektif dan efisien agar dapat digunakan secara luas di layanan kesehatan,” tambahnya.
Namun, menurutnya, RDT berbasis antigen yang tengah dikembangkan masih memerlukan uji lanjut untuk meningkatkan sensitivitas. Karena itu, tim periset juga mengembangkan in-house PCR khusus untuk deteksi leptospirosis.
“Dengan riset ini, kami berharap dapat menghasilkan produk dalam negeri yang lebih berkualitas, terjangkau, dan mampu memperkuat upaya deteksi penyakit zoonosis di Indonesia,” kata Farida.
Kementerian Kesehatan mengambil sample dari tikus untuk memastikan penyakit zoonosis yang ditemukan di Kawasan Cilandak. Sebelumnya warga yang diduga terpapar menyebut alami gejala demam, bercak merah di tangan serta lemas.
Mengenal Penyakit Zoonosis
Zoonosis adalah penyakit yang ditularkan dari hewan, baik hewan liar, hewan ternak, maupun domestik (hewan peliharaan), ke manusia. Patogen yang ditularkan pun bisa berupa bakteri, virus, parasit, dan jamur.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), setidaknya 6 dari 10 penyakit menular yang ada saat ini merupakan zoonosis. Bahkan, 3 dari 4 penyakit infeksi baru pada manusia bersumber dari hewan.
Jumlah penyakit baru yang ditularkan dari hewan terus bertambah setiap tahunnya. Menurut WHO, diperkirakan terdapat lebih dari 200 jenis penyakit zoonosis di dunia saat ini. Beberapa penyakit zoonosis yang sudah dikenal, di antaranya penyakit flu, nipah, virus Hendra, rabies, malaria, leptospirosis, COVID-19, hingga cacar monyet.
Peneliti Ahli Muda, Pusat Riset Kesehatan Masyarakat dan Gizi BRIN, Pandji Wibawa Dhewantara menjelaskan, penularan zoonosis bisa melalui kontak langsung atau tidak langsung dengan hewan.
Kontak langsung misalnya, akibat paparan langsung dengan darah, saliva atau air liur, tinja, atau cairan tubuh lainnya dari hewan yang terinfeksi. Dokter hewan dan peternak merupakan salah satu profesi yang berisiko tinggi dalam penularan secara kontak langsung ini.
Sedangkan penularan melalui kontak tidak langsung dapat terjadi melalui berbagai medium perantara. Misalnya, kita tidak sengaja mengonsumsi makanan yang telah terkontaminasi urine atau saliva dari hewan yang terinfeksi. Selain itu, penularan juga dapat terjadi akibat kontak dengan tanah, air, dan lumpur yang sudah terkontaminasi patogen. Patogen dapat masuk ke dalam tubuh melalui selaput lendir, mata, atau bekas luka.
Penularan Penyakit Lewat Hewan Perantara
Penularan juga dapat terjadi melalui hewan perantara, umumnya berupa serangga.
Malaria zoonotik misalnya, merupakan penyakit infeksi parasit Plasmodium knowlesi yang bersumber dari primata seperti monyet ekor panjang dan kera, lalu ditularkan ke manusia melalui perantara gigitan nyamuk Anopheles.
Malaria yang dikenal saat ini, awalnya bersumber dari hewan primata yang kemudian ditularkan ke manusia melalui serangga.
“Nyamuk menghisap darah primata (yang terinfeksi). Kemudian, misalnya, ada pemburu atau masyarakat yang masuk ke hutan. Tidak sengaja tergigit oleh nyamuk Anopheles yang sudah membawa parasit Plasmodium tadi,” jelas Pandji.
Diketahui beberapa hewan seperti kelelawar, tikus, primata, babi, dan unggas, memang dikenal secara alami membawa atau menjadi reservoir patogen, yang dapat ditularkan baik ke hewan lainnya maupun ke manusia.
Beberapa penyakit yang disebabkan oleh patogen virus, misalnya, penyakit Nipah, Hendra, Ebola, MERS-CoV, dan SARS-CoV diketahui bersumber dari kelelawar.
Selain itu, serangga seperti nyamuk, dan mamalia seperti babi, kuda, primata, dan unta dapat menjadi inang perantara penularan penyakit zoonosis dari hewan ke manusia.
Pengendalian Zoonosis
Pengendalian zoonosis tidak bisa dilakukan oleh satu pihak saja. Terlebih, jelas Pandji, beberapa penelitian sedang mengungkapkan adanya kemunculan reverse zoonosis. Artinya, penularan penyakit tidak hanya terjadi dari hewan ke manusia, bahkan dari manusia bisa ditularkan kembali ke hewan.
Karena itu, dalam beberapa tahun terakhir, konsep One Health terus didengungkan di tingkat global.
“One Health pada intinya adalah bagaimana kita bisa mencegah dan mengendalikan penyakit dilihat dari 3 aspek, yaitu aspek kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan,” jelas Pandji.
Misalnya, ketika menanggulangi rabies, tentu tidak bisa hanya fokus pada sektor peternakan atau sisi kesehatan hewan saja, dengan memberikan vaksinasi pada anjing. Di sisi lain, perlu pula memberikan edukasi kepada masyarakat untuk memberikan vaksin pada anjing peliharaannya, menjaga kesehatan lingkungan, dan memastikan masyarakat dapat mengakses obat atau terapi akibat gigitan anjing, sehingga penularan rabies dapat dikendalikan.
Implementasi regulasi terkait perdagangan satwa liar dan konservasi juga perlu terus ditegakkan. Perlunya strategi komprehensif dari pemerintah untuk terus menyosialisasikan risiko zoonosis berbasis kearifan lokal, dengan melibatkan masyarakat setempat.
Monitoring atau surveilans terhadap kemunculan penyakit infeksi baru juga perlu terus diperkuat. Riset terkait bidang kesehatan, perbaikan infrastruktur dan kesiapsiagaan dalam menghadapi penyakit infeksi baru, dan riset terkait obat-obatan memerlukan kolaborasi tidak hanya di tingkat nasional, melainkan di tingkat global.