Liputan6.com, Jakarta - Kesehatan mental orangtua adalah fondasi penting dalam membangun keluarga bahagia dan melahirkan generasi yang kuat.
Dalam Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, tercatat 9,8 persen kelompok usia 15 tahun ke atas mengalami gangguan mental emosional. Survei kesehatan Indonesia tahun 2023 juga menunjukkan 1 dari 5 orang dewasa pernah mengalami stres atau kecemasan signifikan.
Angka ini menunjukkan tingginya risiko kesehatan mental, termasuk pada orangtua yang bertanggung jawab penuh pada pengasuhan anak-anak.
“Menjaga kesehatan mental sebagai orangtua bukan pekerjaan tambahan, tetapi jadi kebutuhan utama orangtua,” kata Wakil Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/Wakil Kepala BKKBN, Ratu Ayu Isyana Bagoes Oka, S.Sos, dalam webinar pada Kamis (28/8/2025).
Isyana menegaskan, kesehatan mental orangtua tidak hanya berdampak bagi diri sendiri, tetapi juga pada tumbuh kembang anak. Kondisi psikologis orangtua akan memengaruhi pola asuh, kualitas interaksi dan suasana keluarga sehari-hari.
Dia menyebut, orangtua dengan mental yang sehat akan mampu menghadirkan kasih sayang, dukungan, dan jadi fondasi penting bagi perkembangan anak.
“Anak-anak yang tumbuh dari orangtua yang sehat jiwanya akan menjadi generasi yang kuat, tangguh, dan penuh kasih sayang,” katanya.
Kesehatan mental ibu sangat penting karena dapat memengaruhi kesejahteraan keluarga secara keseluruhan. Beberapa gejala yang dapat menunjukkan masalah kesehatan mental pada ibu meliputi perubahan suasana hati, perubahan tidur atau pola makan, kekha...
Cara Jaga Kesehatan Mental Orangtua
Dalam kesempatan yang sama, dokter spesialis kedokteran jiwa, Rinvil Renaldi, M.Kes, SpKJ(K), menjelaskan bahwa kesehatan mental orangtua dapat dijaga dengan merawat diri.
Ini dapat dilakukan melalui tidur cukup, olahraga, dan makan makanan bergizi seimbang.
“Saat waktunya makan, makanlah. Saat waktunya beristirahat, istirahatlah. Kalau ada pikiran yang mendominasi, saatnya berikan kelonggaran,” kata Rinvil.
Ia menekankan pentingnya berbagi peran dengan pasangan dan keluarga, serta terhubung dengan komunitas orangtua agar tidak merasa sendirian. Menurutnya, dukungan pasangan, komunikasi terbuka, dan spiritualitas menjadi penopang penting bagi kesehatan mental orangtua.
Depresi Peripartum pada Ibu
Senada dengan Isyana dan Rinvil, Dokter Spesialis Anak Rumah Sakit Universitas Islam Indonesia (RS UII), dr. Tien Budi Febriani, M.Sc., Sp.A mengemukakan pentingnya kesehatan mental seorang ibu.
Menurutnya, sebagian ibu mengalami depresi usai melahirkan atau depresi peripartum. Kondisi ini dapat mempengaruhi bayi dan keluarga.
Gejala depresi peripartum mirip dengan gejala-gejala depresi pada umumnya. Seperti insomnia, gangguan nafsu makan, hingga suasana hati yang tidak menentu.
“Kondisi ini yang jelas akan mempengaruhi ibu itu sendiri. Kemudian menjadikan ibu kurang bisa merespons bayi, selanjutnya ibu ini tidak akan mampu memberikan stimulasi untuk tumbuh kembang anak,” jelas dokter yang akrab disapa Tien, mengutip laman UII, Senin (1/9/2025).
Tien menambahkan bahwa dalam jangka waktu yang lebih lama, depresi ini bisa menjalar hingga menyebabkan masalah lain semakin membesar.
“Hal ini akan memengaruhi anggota keluarga lainnya. Seperti dengan pasangan, saudara, orangtua. Ini justru akan memperburuk konflik yang mungkin sebelumnya sudah ada. Bisa berakibat kekerasan pada rumah tangga juga,” tambahnya.
Ibu yang Berisiko Alami Depresi Peripartum
Tien mengatakan, ada beberapa ibu yang memiliki risiko tinggi mengalami depresi peripartum.
“Risiko lebih tinggi dialami oleh para ibu yang memiliki riwayat gangguan mood, seperti depresi atau bipolar. Ada riwayat depresi pada keluarga. Lalu ada isolasi sosial, seperti kurang dukungan keluarga, pasangan, dan masyarakat. Memiliki masalah perkawinan. Kemudian hamil di usia yang terlalu muda ataupun terlalu tua,” jelasnya.
Terdapat dua Penyebab terjadinya tekanan ataupun stres, yaitu fisik dan psikososial. Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa FK UII, dr. Eska Agustin Putri Susanti, Sp.KJ, mengatakan tekanan fisik dapat berupa beban kerja tubuh yang lebih berat untuk menampung janin.
“Tekanan fisik dalam jantung ini bekerja lebih keras untuk menjaga kadar oksigen dalam tubuh. Kemudian penggunaan energi selain untuk dirinya dan janin, juga digunakan untuk beraktivitas,” terangnya.
Selain tekanan fisik, tekanan psikososial menjadi penyebab tambahan.
“Adanya kekurangpuasan hubungan dengan suami, karena terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Lalu ada rasa cemas ketika dia belum siap memiliki anak, bagaimana nanti merawat atau mengurusi anak. Kemudian adanya komentar negatif dari orang lain terkait fisik. Lalu, bisa juga masalah pekerjaan,” imbuhnya.
Kendalikan Stres dengan Upaya Medis hingga Spiritual
Eska menuturkan bahwa stres ataupun tekanan sebenarnya dapat dikendalikan. Cara adaptasi terhadap stres terkait kesehatan fisik, dilakukan dengan pola hidup yang sehat.
“Pola makan-nya harus sehat dan seimbang, kemudian tidur yang cukup 7-9 jam. Juga melakukan pengobatan sesuai kebutuhan,” tuturnya.
Selain kesehatan fisik, kesehatan mental dan kehidupan sosial perlu menjadi perhatian.
“Untuk kesehatan mental tipsnya berusaha untuk selalu berpikir rasional, dan mencoba batasan diri, baik itu dalam hal pekerjaan ataupun waktu. Terkait dengan kehidupan sosial, pastikan keamanan finansial. Seperti tabungan darurat, asuransi, atau gaji.”
“Selain itu perlu ada sistem dukungan baik dari pasangan, keluarga, dan juga kelompok-kelompok tertentu,” ucap Eska.
Pendekatan untuk adaptasi stres bagi ibu tidak hanya dilakukan secara medis, serta sosial namun juga secara spiritual. Eska juga menilai penting adanya pendekatan secara keagamaan, artinya ikhtiar (usaha) harus selalu didampingi dengan doa.
“Ikhtiar dan doa harus dilakukan, agar kita diberi kemudahan serta taufik untuk menjalan kewajiban sebagai seorang ibu. Mungkin bisa juga ditanamkan sikap ikhlas dan tulus untuk berperan sebagai ibu baru,” pungkasnya.