
KETERLIBATAN tenaga ahli gizi profesional ditekankan Badan Gizi Nasional (BGN) sangat penting dalam Program Makan Bergizi Gratis (MBG). Ahli gizi yang dipekerjakan oleh setiap dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) harus memiliki gelar sarjana gizi.
“Kami menilai sangat penting kehadiran para tenaga ahli gizi yang profesional dalam setiap SPPG yang ada di Indonesia. Secara ketentuan, posisi ahli gizi dalam Program MBG memang disyaratkan minimal berpendidikan sarjana gizi,” ucap Wakil Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Sony Sanjaya.
Sony yang hadir dalam acara Focus Group Discussion Food Safety dan Tata Kelola Dapur MBG di Bandung, Jawa Barat, Sabtu (4/10), mengakui bahwa tidak semua daerah mengalami kekurangan sarjana gizi. Sebab itu, BGN akan berkomunikasi dengan Kementerian Pendidikan Tinggi Sains dan Teknologi (Kemensainsdikti), serta Kementerian Kesehatan untuk mengambil utusan dari bidang pendidikan mana saja yang mengambil peran ahli gizi pada SPPG.
“Pembahasan lintas kementerian tersebut diharapkan dapat segera menghasilkan pedoman baru yang lebih adaptif terhadap kondisi di lapangan. Mudah-mudahan secepatnya ini akan segera diinformasikan,” tuturnya.
Penerapan SOP di SPPG
Sony juga menyingung pentingnya penerapan Standar Operasional Prosedur (SOP) secara disiplin di seluruh SPPG, langkah ini untuk menjaga mutu makanan sekaligus meningkatkan kualitas pelayanan di lapangan. Seluruh petugas SPPG wajib memahami dan menerapkan SOP yang telah ditetapkan BGN, mulai dari proses penerimaan bahan baku, pengolahan makanan nabati dan hewani, hingga pendistribusian kepada penerima manfaat.
“BGN sudah memiliki SOP yang lengkap, seperti SOP penerimaan barang, persiapan, pengolahan bahan, sampai distribusi. Kami menekankan agar seluruh kepala SPPG melaksanakannya secara konsisten. Salah satu aturan penting dalam SOP adalah kewajiban penggunaan alat pelindung diri (APD), serta harnet atau penutup rambut bagi petugas yang memproduksi makanan MBG, karena itu bagian dari upaya menjaga kebersihan dan higienitas makanan,” bebernya.
Sony mengingatkan, SOP bukan sekadar dokumen administratif, tetapi pedoman kerja yang harus dipahami dan dijalankan dengan kesadaran penuh oleh setiap petugas. Kalau SOP hanya dijadikan formalitas, pelaksanaannya akan terpaksa dan lama-lama diabaikan. Tapi kalau benar-benar dipahami akan muncul kesadaran untuk bekerja sesuai standar.
“Saya berharap penerapan SOP dapat dijalankan secara menyeluruh dan berkesinambungan di setiap SPPG. Selain menjaga kualitas makanan, hal tersebut juga menjadi langkah preventif untuk mencegah munculnya kasus keracunan dalam pelaksanaan program MBG,” sambungnya. (M-1)