TUNJANGAN pensiun bagi mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali menjadi sorotan setelah regulasi yang mengatur hak tunjangan tersebut digugat di Mahkamah Konstitusi. Pemohon meminta Mahkamah menghapus anggota DPR dari daftar penerima tunjangan.
Guru besar ilmu hukum tata negara Universitas Jenderal Soedirman, Muhammad Fauzan, menjelaskan bahwa tunjangan pensiun bagi mantan anggota DPR diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 tentang Hak Keuangan Administrasi Pimpinan dan Anggota Lembaga Tinggi Negara.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
"Menurut saya, permohonan ini laik dan sah karena aturan yang ada sudah terlalu usang dan perlu ada penyesuaian," kata Fauzan saat dihubungi, Sabtu, 4 Oktober 2025.
Penyesuaian yang dimaksudkan Fauzan merujuk pada kebijakan pemangkasan anggaran dan kondisi sosial masyarakat. Ia menilai, berdasarkan Pasal 12 ayat 1 undang-undang tersebut, anggota DPR memperoleh tunjangan pensiun kendati menjabat dalam waktu singkat.
Besaran tunjangan pensiun bagi anggota DPR yang menjabat dalam waktu singkat, kata dia, berdasarkan ketentuan Pasal 13 ayat 2, sekurang-kurangnya 6 persen dari gaji pokok.
Sedangkan legislator yang menjabat penuh satu periode dan yang diberhentikan dengan alasan kesehatan bisa memperoleh tunjangan pensiun hingga 75 persen.
Masalahnya, Fauzan menuturkan, jika berbicara soal keadilan, tunjangan yang diperoleh mantan anggota DPR tak sejalan dengan rakyat yang diwakili. Sebab, dengan masa kerja lima tahun, anggota DPR berhak memperoleh tunjangan pensiun hingga seumur hidup.
"Pada Pasal 17 dan 19 diatur bahwa tunjangan pensiun bisa diterima oleh istri, anak, atau ahli waris anggota DPR apabila anggota tersebut, misalnya, meninggal," ucapnya.
Pasal 17 ayat 1 Undang-Undang No. 12/1980 menyebutkan, jika anggota DPR penerima tunjangan pensiun meninggal, hak akan diberikan kepada suami atau istri sah dengan besaran 1/2 dari tunjangan pensiun yang diterima terakhir kali.
Lalu Pasal 18 ayat 1 huruf a dan b mengatur penghentian pembayaran tunjangan pensiun bagi suami atau istri sah mantan anggota DPR apabila telah meninggal atau menikah kembali.
Namun, Fauzan mengatakan, ketentuan di Pasal 18 berlanjut pada aturan di Pasal 19, yaitu tunjangan pensiun akan beralih kepada anak mantan anggota DPR. "Besarannya sama, yakni 1/2 dari hak yang diterima terakhir kali," ucapnya.
Fauzan melanjutkan, pemberhentian tunjangan pensiun bagi anak mantan anggota DPR dijelaskan secara rinci pada Pasal 19 ayat 4, yaitu anak meninggal, mencapai usia 25 tahun, memiliki pekerjaan tetap, dan berstatus menikah.
"Yang menjadi pertanyaan, apakah ada transparansi terkait dengan anak-anak mantan anggota DPR yang telah melebihi usia 25 tahun dan sudah menikah masih memperoleh hak pensiun ini?" kata Fauzan.
Berdasarkan Pasal 15, tunjangan pensiun bagi mantan anggota DPR dibayarkan terhitung pada bulan berikutnya setelah legislator tersebut berhenti dengan hormat. Sedangkan Pasal 26 menyebutkan tunjangan pensiun bagi mantan anggota DPR dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Pada Rabu, 1 Oktober 2025, psikiater bernama Lita Linggayani dan mahasiswa bernama Syamsul Jahidin mengajukan gugatan uji materi terhadap Undang-Undang No. 12/1980 ke Mahkamah Konstitusi. Gugatan yang teregister dengan nomor perkara 176/PUU-XXIII/2025 itu menguji Pasal 1a, 1f, dan Pasal 12 UU No. 12/1980.
Dalam gugatan tersebut, pemohon menilai terdapat ketidakadilan karena pemohon sebagai warga negara yang membayar pajak harus menanggung tunjangan pensiun bagi anggota DPR yang hanya menjabat selama lima tahun.
"Pemohon tidak rela pajaknya digunakan untuk menbayar anggota DPR yang menjabat lima tahun, tapi memperoleh tunjangan pensiun seumur hidup dan dapat diwariskan," kata pemohon.
Pemohon hakul yakin pemberian tunjangan pensiun bagi mantan anggota DPR justru menambah beban fiskal negara. Sebab, menurut dia, terdapat 5.175 anggota DPR yang berhak menerima tunjangan ini.
Dihubungi terpisah, peneliti Indonesia Parliamentary Center, Arif Adiputro, mengatakan besaran tunjangan pensiun untuk mantan anggota DPR yang menjabat lima tahun bisa mencapai 60 persen dari gaji pokok.
Arif mencontohkan, apabila gaji pokok anggota DPR per bulan sebesar Rp 4,2 juta, tunjangan pensiun yang bakal diterimanya sekitar Rp 2,52 juta. Kendati nominalnya tak sebesar gaji saat menjabat, kata dia, tunjangan tersebut berlaku seumur hidup dan dapat diwariskan.
"Saya kira ini yang jadi inti gugatan dan sumber rasa ketidakadilannya," ujar Arif.
Pada Kamis, 2 Oktober 2025, Ketua DPR Puan Maharani mengklaim menghargai aspirasi yang disampaikan masyarakat, termasuk ihwal gugatan uji materi perihal tunjangan pensiun anggota DPR.
"Tidak bisa kita hanya berbicara pada satu lembaga. Aturannya ini kan menyeluruh, jadi lihat aturan yang ada," kata politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu.
Dian Rahma Fika Alnina berkontribusi dalam penulisan artikel ini
Pilihan Editor: Dilema Penetapan KLB Keracunan Makan Bergizi Gratis