Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) didirikan atas dasar kerja sama internasional untuk menjaga perdamaian, memajukan hak asasi manusia, dan meningkatkan kesejahteraan global. Namun, sepanjang 80 tahun berdirinya PBB, lembaga internasional tersebut belum pernah sekali pun memiliki pucuk pimpinan alias sekretaris jenderal (sekjen) perempuan.
Sekjen PBB saat ini, António Guterres dari Portugal, akan menuntaskan masa jabatannya pada akhir tahun 2026. Menjelang proses pemilihan sekjen baru, sejumlah pemimpin dunia menyoroti fakta bahwa posisi tertinggi di lembaga itu selalu dipegang oleh laki-laki. Isu tersebut mencuat dalam Sidang Umum PBB yang berlangsung di New York ketika berbagai kepala negara menyerukan agar pemimpin berikutnya berasal dari kalangan perempuan.
Presiden Estonia, Alar Karis, dalam pidatonya mengatakan bahwa sudah saatnya PBB memiliki sekjen perempuan. Ia menekankan pentingnya kriteria seleksi yang lebih ambisius dan transparan, dengan melibatkan peran lebih besar dari Sidang Umum dalam proses pemilihan. Alar Karis juga menyinggung krisis kredibilitas yang tengah dihadapi PBB dan menilai bahwa proses pemilihan sekjen mendatang harus mampu memulihkan kepercayaan publik terhadap lembaga tersebut.
Presiden Slovenia, Nataša Pirc Musar, turut menyoroti ketimpangan gender di badan PBB. Ia menyebut bahwa hanya lima perempuan yang pernah menjabat sebagai presiden Sidang Umum PBB, termasuk pada tahun ini. Menurutnya, sejarah perlu diubah dengan memilih sekjen perempuan pada periode mendatang.
“Pada akhir sesi ini, dunia seharusnya menyambut seorang Sekretaris Jenderal perempuan terpilih. Mari kita ciptakan sejarah,” ujar Nataša mengutip dari Reuters.
Sebelumnya seruan serupa pernah disampaikan Abdulla Shahid, mantan presiden Sidang Umum PBB ke-76 yang juga Menteri Luar Negeri Maladewa pada tahun 2022. Dilansir Forbes, Abdulla menyebut situasi tersebut memalukan mengingat sudah lebih dari tujuh dekade sejak PBB berdiri. Pada tahun 2016, tujuh kandidat perempuan mencalonkan diri untuk posisi sekjen, tetapi negara-negara anggota akhirnya memilih António Guterres.
Proses pemilihan sekjen PBB selama ini diawali dengan pembahasan tertutup di Dewan Keamanan PBB yang beranggotakan 15 negara, termasuk lima anggota tetap dengan hak veto yang terdiri atas Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Rusia, dan China. Setelah menyeleksi daftar kandidat, Dewan Keamanan kemudian merekomendasikan satu nama untuk disahkan oleh Sidang Umum.
Dalam upaya meningkatkan transparansi, sejak tahun 2015 Sidang Umum meminta semua negara anggota mengajukan calon secara terbuka, lengkap dengan profil dan latar belakang kandidat. Namun, hingga kini belum ada perubahan berarti dalam representasi perempuan di level tertinggi organisasi tersebut.
Presiden Mongolia, Ukhnaagiin Khürelsükh, berpendapat bahwa keterlibatan perempuan di posisi kepemimpinan senior PBB akan memperkuat proses pengambilan keputusan yang lebih transparan dan inklusif.
Dilansir Reuters, pemilihan Sekjen PBB selanjutnya akan berlangsung pada tahun 2026, dengan masa jabatan dimulai pada 1 Januari 2027.