POLEMIK disertasi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia masih terus berlanjut. Kini, Pengadilan Tata Usaha Negara atau PTUN mengabulkan gugatan promotor dan ko-promotor disertasi Bahlil Lahadalia, yakni Chandra Wijaya dan Athor Subroto.
Dalam putusan tersebut, hakim memutus Rektor Universitas Indonesia sebagai tergugat harus membatalkan sanksi yang dijatuhkan kepada kedua pembimbing Bahlil.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Chandra dan Athor sebetulnya mengajukan gugatan secara terpisah. Masing-masing teregister dengan nomor perkara 190/G/2025/PTUN.JKT dan 189/G/2025/PTUN.JKT. Athor mendaftarkan gugatan lebih dulu, yaitu pada 5 Juni 2025, sementara Chandra lima hari setelahnya atau pada 10 Juni 2025.
Meski begitu, bunyi petitum keduanya sama, yakni terdiri dari empat permohonan. Pertama, penggugat meminta pengadilan membatalkan Surat Keputusan Rektor UI atas penetapan sanksi administrastif kepada masing-masing pemohon. Kedua, penggugat meminta pengadilan memerintahkah tergugat untuk mencabut surat tersebut.
Ketiga, penggugat meminta hakim memerintahkan tergugat merehabilitasi nama baik penggugat. Keempat menghukum tergugat untuk membayar seluruh biaya perkara yang timbul dari perkara tersebut.
Terhadap gugatan Athor, hakim mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya. Sementara gugatan Chandra hanya dikabulkan sebagian. Gugatan yang tidak dikabulkan itu berupa permohonan pemulihan nama baik.
"Menyatakan menolak gugatan penggugat untuk selain dan selebihnya," demikian bunyi putusan untuk Chandra pada poin keempat, dikutip dari amar putusan yang tertera pada laman Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri Tata Usaha Negara Jakarta, Sabtu, 4 Oktober 2025.
Berikut amar putusan hakim atas gugatan Athor dan Chandra:
1. Menyatakan Surat Keputusan Rektor UI soal sanksi etik disertasi Bahlil batal
Hakim menyatakan batal Keputusan Rektor Universitas Indonesia Nomor 473/SK/R/UI/2025, tanggal 7 Maret 2025, tentang Penetapan Sanksi Administratif terhadap Prof. Dr. Chandra Wijaya, S.Sos., M.Si., M.N. dengan Nomor Induk Pegawai 196911291994031002.
Keputusan yang sama juga didapatkan Athor. "Menyatakan batal Surat Keputusan Rektor Universitas Indonesia Nomor 475/SK/R/UI/2025 Tentang Penetapan Sanksi Administratif Terhadap Athor Subroto, S.E., M.M., M.Sc., Ph.D. dengan nomor urut pegawai 0607050201 tanggal 7 Maret 2025,” demikian yang tertulis dalam SIPP PTUN Jakarta.
2. Meminta Rektor UI untuk mencabut surat keputusan ihwal sanksi etik
Hakim memerintahkan Rektor UI Heri Hermansyah untuk mencabut surat keputusan tentang penjatuhan sanksi administratif terhadap Chandra dan Athor. Chandra, sebagai promoto, dan Athor, promotor dua, ketika itu mendapatkan sanksi berupa larangan mengajar, membimbing, dan menguji selama minimal tiga tahun.
Selain itu, keduanya dikenai penundaan kenaikan pangkat, golongan atau jabatan akademik serta dilarang menduduki jabatan struktural atau manajerial dalam kurun waktu yang sama. Sebagai tambahan, Chandra dan Athor diwajibkan menyampaikan permohonan maaf secara terbuka kepada UI dan masyarakat.
Dua guru besar ini dijatuhi sanksi lantaran terbukti melakukan pelanggaran etik berupa memberikan perlakuan khusus kepada Bahlil sebagai mahasiswa doktoral UI. Pelanggaran etik itu berupa perlakuan khusus, sehingga Bahlil bisa menyelesaikan disertasinya hanya dalam 1 tahun 8 bulan.
Selain itu, Dewan Guru Besar UI menemukan promotor dan ko-promotor Bahlil ini memiliki keterkaitan profesional dengan kebijakan yang diatur Bahlil saat menjabat sebagai pejabat negara.
3. Hakim memerintahkan Rektor UI untuk merehabilitasi nama baik Athor seperti semula
Berbeda dengan Chandra, permohonan Athor terkait dengan pemulihan nama baik, dan jabatan seperti semula dikabulkan. Sebelum menggugat ke PTUN, Athor Subroto memang sempat mengirimkan surat keberatan ke Rektorat UI. Athor tidak terima atas sanksi yang didapat dalam polemik S3 milik Ketua Umum Partai Golkar tersebut. Menurut dia, selama proses sidang etik, dirinya tidak pernah dimintai keterangan apa pun.
4. Rektor UI harus membayar biaya perkara
Atas dikabulkannya gugatan dua anak buahnya tersebut, Rektor UI turut dihukum membayar biaya perkara sebesar Rp 359.000. Majelis hakim PTUN Jakarta juga menyatakan eksepsi Rektor UI tidak diterima untuk seluruhnya.
Tempo telah menghubungi Rektor UI Heri Hermansyah untuk meminta tanggapan mengenai putusan ini. Namun hingga Sabtu siang, 4 Oktober 2025, pesan Tempo belum berbalas. Sebelumnya, Kepala Sub Direktorat Hubungan Media dan Pengelola Reputasi Digital UI, Emir Chairullah, menyampaikan kampus belum dapat berkomentar ihwal putusan tersebut.
“UI menghormati putusan yang dibuat PTUN Jakarta,” kata dia. Emir mengatakan UI belum menentukan langkah apa pun selain menghormati putusan.
Dinda Shabrina dan Rizki Yusrial berkontribusi dalam penulisan artikel ini