KOALISI Nasional Organisasi Disabilitas beraudiensi dengan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat untuk memberi masukan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP. Penyandang disabilitas intelektual atau down syndrome bernama Morgan turut menyuarakan aspirasinya soal Rancangan Undang-Undang KUHAP.
Morgan mengatakan penyandang disabilitas intelektual sering kali mengalami diskriminasi di berbagai bidang, mulai dari bidang kesehatan, pendidikan, hingga pekerjaan.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
“Masyarakat indonesia masih menganggap bahwa kami ini tidak bisa apa-apa, bodoh, dan hanya menjadi beban keluarga dan negara, sehingga dianggap tidak perlu mendapatkan pendidikan apalagi mendapatkan pekerjaan,” ucap Morgan di ruang rapat Komisi Hukum DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Senin, 29 September 2025.
Morgan mengatakan dirinya mampu berbahasa Indonesia, Inggris, hingga Prancis. Namun menurut dia, kelebihan itu masih dipandang sebelah mata. Morgan menyatakan dirinya masih dianggap tidak memiliki kapasitas hukum. Ia lantas meminta DPR untuk menghentikan diskriminasi terhadap penyandang disabilitas intelektual, salah satunya dalam aturan yang tercantum di RUU KUHAP.
“Ibu dan Bapak, tolong untuk memperhatikan hal ini dengan menghapus pasal dalam undang-undang dan peraturan yang ada yang mendiskriminasi kami,” ujar Morgan.
Adapun revisi KUHAP akan menggantikan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang telah berlaku lebih dari 40 tahun lamanya. Revisi KUHAP ini merupakan inisiatif DPR dan masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025. RUU KUHAP juga masuk dalam Prolegnas Prioritas 2026.
Pada kesempatan yang sama, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) memberikan empat usulan soal posisi penyandang disabilitas dalam revisi KUHAP. Adapun PSHK menggarisbawahi bahwa bentuk disabilitas seseorang beragam.
Peneliti PSHK Fajri Nursyamsi menyebut penyandang disabilitas tidak kebal hukum dan tetap memiliki potensi berhadapan dengan hukum. Sebab penyandang disabilitas, kata Fajri, memiliki hak dan kewajiban yang sama seperti warga negara lainnya. Namun ketika penyandang disabilitas berkewajiban menghadiri pemeriksaan, maka mereka perlu difasilitasi dengan akomodasi yang layak. “Kami memahami bersama bahwa ada hambatan yang muncul karena lingkungan yang tidak memenuhi aksesibilitas sebagai penyandang disabilitas,” ucap Fajri.
Usulan pertama yang disampaikan Fajri ialah mengenai pengakuan penyandang disabilitas sebagai saksi. Dalam Pasal 1 angka 45 Rancangan Undang-undang KUHAP, tercantum bahwa saksi adalah seseorang yang memberikan keterangan mengenai peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri. Menurut Fajri, poin “dengar” dan “lihat” itu membatasi. “Tidak semua manusia bahkan punya kemampuan atau punya bisa berpartisipasi dengan cara mendengar dan kemudian melihat,” kata Fajri.
Oleh karena itu, Fajri mengusulkan alternatif redaksional, yaitu menghilangkan sama sekali kedua kata tersebut. Ia menilai bagaimana cara saksi mendapatkan informasi tidak perlu dibuat rigid atau kaku. Pada praktiknya, penyandang disabilitas bisa saja memberikan kesaksian bukan karena penglihatan ataupun pendengaran, melainkan karena penciuman atau perabaan. “Yang penting dia relevan, yang penting dia bisa memberikan kesaksian yang pada akhirnya bisa digunakan untuk mencapai keadilan,” ujar Fajri.
Usulan kedua ialah mengenai akomodasi layak bagi penyandang disabilitas. Pada Pasal 137 ayat (1), tertuang bahwa penyandang disabilitas berhak atas pelayanan dan sarana prasarana berdasarkan ragam penyandang disabilitas dalam setiap tahap pemeriksaan. Pada ayat selanjutnya, tertulis bahwa ketentuan mengenai pelayanan dan sarana prasarana itu nantinya diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Fajri memberikan catatan bahwa akomodasi yang layak ini bukanlah sekadar prosedur maupun administratif. Akomodasi ini adalah bagian dari hukum acara. “Dia adalah bagian di mana hak penyandang disabilitas bisa terfasilitasi untuk memberikan kesaksian itu sangat menentukan,” kata Fajri.
Menurut dia, ketentuan mengenai akomodasi ini tidak bisa langsung dilimpahkan kepada Peraturan Pemerintah, tetapi harus dijabarkan. Misalnya, RUU KUHAP perlu menjelaskan bahwa aparat penegak hukum wajib menyediakan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas. Lalu, aparat penegak hukum, baik penyidik, penuntut umum, maupun hakim sesuai kewenangan masing-masing, wajib melaksanakan penilaian personal. Akomodasi yang layak ini bersifat personal atau pribadi. Sebab, penyandang disabilitas memiliki ragam disabilitas yang berbeda-beda.
Lalu, Fajri juga menjelaskan mengenai usulan keempat, yakni soal kesetaraan bobot kesaksian. Pasal 208 RUU KUHAP menjelaskan bahwa seseorang yang dapat diminta memberikan keterangan tanpa sumpah atau janji salah satunya adalah orang yang sakit ingatan dan sakit jiwa. “Ini pasal yang sangat diskriminatif karena kondisi orang yang sakit ingatan dan sakit jiwa itu bersifat episodik,” ujar Fajri.
Maka dari itu, Fajri berpandangan kondisi itu tidak bisa dicantumkan dalam sebuah peraturan perundang-undangan yang sifatnya permanen untuk kepastian hukum. “Oleh karena itu ada syarat yang detail yang kami usulkan bahwa kondisi-kondisinya sebegitu menjadi keputusan terakhir untuk menjadikan seseorang itu tidak untuk disumpah secara penuh,” kata Fajri.
Usulan keempat ialah soal penyesuaian definisi dan konsep. Fajri menjelaskan, Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas sudah mencantumkan konsep-konsep yang berperspektif disabilitas. Menurut Fajri, istilah-istilah dalam RUU KUHAP perlu diselaraskan dengan UU 8/2016 sebagai bentuk pengakuan terhadap konsep disabilitas.