TEMPO.CO, Jakarta -
MENTERI Hukum Supratman Andi Agtas mengatakan Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber atau RUU KKS masih berada dalam proses harmonisasi antar kementerian. RUU KKS belakangan menjadi sorotan karena melibatkan Tentara Nasional Indonesia atau TNI sebagai penyidik.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Supratman mengatakan draf beleid tersebut belum sampai ke Presiden maupun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk dibahas. “Saat ini RUU tersebut masih proses harmonisasi antarkementerian. Kementerian Hukum bukan pemrakarsa RUU tersebut. Makanya kita sementara ada di harmonisasi,” ujar dia melalui pesan pendek, Rabu, 8 Oktober 2025.
Adapun penyusunan draf RUU KKS melibatkan panitia antarkementerian yang terdiri atas Kementerian Hukum, Kementerian Komunikasi dan Digital, serta Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).
Supratman menjelaskan, setelah tahap harmonisasi selesai, RUU KKS akan diserahkan kepada Presiden. Pemerintah kemudian akan mengirimkan surat presiden (surpres) dan naskah RUU ke DPR sebagai dasar dimulainya pembahasan di parlemen. “Ditunggu harmonisasinya selesai baru akan disampaikan kepada Presiden dan selanjutnya akan diserahkan ke DPR disertai surpres,” kata dia.
Penyidik TNI Hanya di Ranah Militer
Pada kesempatan lain, Supratman mengatakan dalam RUU KKS penyidik TNI hanya berperan untuk menindak anggota yang terlibat tindak pidana siber. “Kan sudah jelas, kalau tindak pidana yang dilakukan oleh anggota TNI, penyidiknya siapa? (TNI), ya sudah kalau begitu ya,” ujar Supratman di Kantor Kementerian Hukum, Jakarta, Senin, 6 Oktober 2025, dikutip dari Antara.
Oleh sebab itu, dia menjelaskan penyidik yang dimaksud dalam RUU KKS tetap mengikuti ketentuan perundang-undangan yang berlaku. “Kalau dia tindak pidana umum, penyidiknya siapa? Kalau ada PPNS-nya (penyidik pegawai negeri sipil), penyidiknya siapa? Kalau pelakunya TNI, penyidiknya siapa? Jadi, nggak perlu lagi (dipertanyakan), karena barang itu sudah clear semua,” kata dia.
Pernyataan ini merespons kritikan dari koalisi masyarakat sipil terhadap sejumlah ketentuan dalam RUU KKS. Koalisi terdiri dari Raksha Initiatives, Centra Initiative, Imparsial, dan De Jure. Salah satu yang paling menuai kritik adalah Pasal 56 ayat (1) huruf d, yang memberi kewenangan kepada TNI sebagai penyidik dalam tindak pidana siber.
Koalisi menilai hal itu bertentangan dengan Pasal 30 ayat (3) UUD 1945 serta prinsip civilian supremacy, sehingga intervensi militer dalam urusan sipil semakin besar. Mereka khawatir kewenangan tersebut dapat digunakan secara luas, mengaburkan batas antara ranah pertahanan dan penegakan hukum sipil, serta membuka peluang pelanggaran hak-hak warga.