Krisis Gaza kembali menjadi luka terbuka dunia. Dua tahun setelah perang besar kembali pecah, korban sipil masih berjatuhan, infrastruktur hancur, dan penderitaan rakyat Palestina terus berulang. Di tengah kecaman global terhadap serangan yang dinilai tidak proporsional, perhatian dunia sering kali berhenti pada dua aktor utama Israel dan kelompok bersenjata di Gaza.
Namun untuk memahami mengapa konflik ini terus berulang, kita perlu menatap melampaui garis depan ke arah para aktor di belakang layar yang menopang jalannya perang.
Salah satu aktor itu adalah Amerika Serikat (AS). Dukungan militernya terhadap Israel, perlindungan diplomatiknya di Dewan Keamanan PBB, serta pembelaannya di panggung internasional menjadikan AS bukan sekadar pengamat, melainkan pemain aktif dalam krisis Gaza. Pertanyaannya kemudian apakah bentuk dukungan itu hanya kebijakan luar negeri semata, atau sudah menyentuh ranah tanggung jawab hukum internasional?
Apa yang Dimaksud Negara Ketiga?
Istilah negara ketiga (third state) dalam hukum internasional kerap menimbulkan salah paham. Banyak pembaca mengaitkannya dengan istilah “negara dunia ketiga” yang merujuk pada negara berkembang. Padahal, dalam konteks hukum internasional, maknanya sama sekali berbeda.
Negara ketiga berarti negara yang tidak secara langsung terlibat dalam suatu konflik bersenjata bukan pihak yang berperang (belligerent) dan bukan lokasi konflik. Namun, negara tersebut bisa memengaruhi jalannya perang melalui bantuan militer, dukungan finansial, kebijakan ekonomi, atau manuver diplomatik.
Dengan pengertian ini, Amerika Serikat merupakan negara ketiga dalam konflik Gaza. ia tidak mengirimkan pasukan tempur ke medan perang, tetapi memberikan dukungan yang sangat signifikan kepada salah satu pihak, yaitu Israel. Maka, dalam perspektif hukum internasional, peran AS tidak bisa dilepaskan dari konsekuensi hukum dan moral yang timbul dari dukungan tersebut.
Keterlibatan Negara Ketiga dan Kerangka Hukum Internasional
Dalam hukum internasional, keterlibatan negara ketiga bukan sekadar persoalan etika politik, melainkan isu tanggung jawab hukum. Dua instrumen utama menjadi pijakannya ARSIWA dan Common Article 1 Konvensi Jenewa 1949.
1. ARSIWA dan Konsep “Complicity”
Salah satu fondasi utama hukum tanggung jawab negara adalah dokumen yang disusun oleh International Law Commission (ILC), yakni Articles on Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts (ARSIWA) tahun 2001. Dalam Pasal 16 ARSIWA dijelaskan
Klausul ini dikenal sebagai prinsip aid or assistance, atau dalam kajian akademik sering disebut complicity keterlibatan tidak langsung yang menimbulkan tanggung jawab hukum.
sederhananya, sebuah negara tidak harus menekan tombol rudal atau mengirim pasukan untuk terjerat tanggung jawab. cukup dengan memfasilitasi tindakan melanggar hukum secara sadar, maka unsur tanggung jawab negara dapat terpenuhi.
Komentar resmi ILC menyebutkan bahwa negara pemberi bantuan harus “aware of the circumstances making the conduct of the assisted State internationally wrongful”. Artinya, ketika pelanggaran...