ADA yang berbeda dari unjuk rasa di depan gerbang utama Kompleks DPR hari ini. Aksi bertajuk Rapat Dengar Pendapat Warga itu memperlihatkan suasana santai.
Berdasarkan pengamatan Tempo, peserta aksi yang berasal dari elemen mahasiswa itu duduk-duduk di atas alas piknik. Alih-alih menyampaikan kritik lewat orasi yang berapi-api, massa aksi terlihat berdiskusi dan membaca buku di lokasi unjuk rasa. Mereka membuka lapak perpustakaan dadakan yang menampilkan sejumlah koleksi buku sosial-politik, majalah, hingga pamflet-pamflet.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Di beberapa titik, mahasiswa tampak membaca. Sementara di titik lain, tapi peserta berdiskusi tentang isu-isu kebebasan berekspresi.
Tak hanya diisi agenda membaca dan berdiskusi, aksi ini diwarnai kegiatan hiburan. Di sebelah pojok literasi, mahasiswa menyiapkan kegiatan memancing. Terlihat ada kolam karet kecil berwarna biru berisi air dan ikan-ikanan, lengkap dengan pancingannya.
Di titik lain, peserta terlihat membuka lapak mengecat kuku. Ada pula massa aksi yang menyiapkan lapak healing untuk meditasi. Peserta membawa instrumen singing bowl—mangkuk berbahan logam yang menghasilkan suara dan getaran harmonis saat diketuk atau digesek dengan tongkat kayu.
Meski aksi berlangsung damai, polisi terlihat berjaga di lokasi. Personel kepolisian berbaris di sisi jalan. Polisi juga membentangkan spanduk yang berisi pesan supaya massa menyampaikan pendapat dengan tertib.
Unjuk rasa ini dinamakan Rapat Dengar Pendapat Warga atau RDPW sebagai bentuk pelesetan dari rapat dengar pendapat umum atau RDPU yang sering digelar DPR. Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI)—salah satu inisiator aksi hari ini—berpendapat bahwa rapat dengar pendapat yang digelar DPR kebanyakan sekadar formalitas belaka. Maka dari itu, mereka menggelar aksi RDPW untuk menandingi RDPU DPR.
Ketua BEM UI Zayyid Sulthan Rahman menegaskan RDPW ini merupakan inisiatif warga sipil, bukan hanya BEM UI. “Ini inisiatif masyarakat yang merasa bahwa konsep aksi tidak hanya harus membawa massa berdiri di lapangan, kemudian berorasi, head-to-head dengan polisi dan lain sebagainya, tapi kami ingin menyampaikan bahwa aksi dapat berbentuk apa saja,” ujarnya ketika ditemui di lokasi aksi, Senin, 6 Oktober 2025.
Atan menjelaskan rakyat berhak mengisi alias mengokupasi ruang-ruang umum. “Tempat-tempat ini adalah hak kita, kita membayar pajak untuk instrumen-instrumen ini, fasilitas-fasilitas ini, maka dari itu kami memanfaatkannya,” kata dia.
Gedung DPR, kata Atan, sambil menunjuk gedung di belakangnya, merupakan simbol atau representasi rakyat. Atan menyebut peserta aksi tidak mempersoalkan bahwa legislator Senayan saat ini sedang berada di masa reses.
Adapun masa reses merupakan waktu bagi anggota DPR untuk melakukan kegiatan di luar masa sidang. Mereka bekerja di luar Gedung DPR dan berjumpa dengan konsituennya di daerah pemilihan alias masing-masing.
Tepat di sisi kiri depan gerbang DPR, mereka menyiapkan tujuh kursi kosong yang ditempatkan berjejer. Kursi-kursi itu disediakan untuk legislator Senayan. Di sana terbentang spanduk besar bertuliskan “Rapat Dengar Pendapat Warga”.
“Justru itu kami mengundang mereka ketika di masa reses ini, untuk turun langsung bersama masyarakat,” kata Atan. “Kami yang buat forumnya, karena mereka sedang reses, mereka biasanya buat forum RDP, kali ini kami yang buat forum RDPW.”