KOALISI Masyarakat Sipil menilai Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber (RUU KKS) yang tengah disusun pemerintah mengandung masalah serius dan berpotensi mengancam demokrasi serta negara hukum. Dalam pernyataan bersama, Jumat, 3 Oktober 2025, Koalisi menyoroti pemberian kewenangan kepada Tentara Nasional Indonesia sebagai penyidik pidana siber sebagaimana diatur dalam Pasal 56 ayat (1) huruf d.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Koalisi yang terdiri dari Raksha Initiatives, Centra Initiative, Imparsial dan De Jure, menilai intervensi militer dalam urusan sipil semakin besar sehingga berpotensi mencederai kebebasan warga. “Pelibatan militer dalam ranah penegakan hukum jelas bertentangan dengan Pasal 30 ayat (3) UUD 1945 serta prinsip civilian supremacy,” tulis pernyataan bersama koalisi sipil yang diwakili Direktur Kebijakan Publik Raksha Initiatives Wahyudi Djafar pada Jumat, 3 Oktober 2025.
Adapun RUU KKS telah ditetapkan Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2026 bersama 67 rancangan undang-undang lainnya pada 23 September 2025 di rapat paripurna. Sejumlah RUU itu merupakan lanjutan dari prioritas 2025 sebagai antisipasi bila pembahasannya belum tuntas tahun ini.
Koalisi menilai RUU KKS masih berorientasi state centric dengan menekankan perlindungan kepentingan nasional, alih-alih perlindungan individu. Padahal, kata mereka, regulasi keamanan siber seharusnya bertujuan melindungi perangkat, jaringan, dan individu sebagai korban langsung serangan siber. “Pada akhirnya individu warga negara lah yang akan menjadi korban,” kata Wahyudi.
Mereka juga mengkritik pencampuradukan antara kebijakan keamanan siber dan kejahatan siber. Hal ini tercermin dari Pasal 58, 59 dan 60 yang mengatur sejumlah tindak pidana baru, serta Pasal 61, 62, 63 dan 64 yang menetapkan ancaman pidananya. Menurut Koalisi, pasal-pasal ini melampaui prinsip utama kejahatan siber yang seharusnya hanya mempidanakan akses ilegal dengan maksud kriminal tertentu.
Salah satu pasal yang disorot adalah Pasal 61 ayat (2) huruf b, yang memperkenalkan tindak pidana “makar di ruang siber” dengan ancaman hingga 20 tahun penjara. Koalisi menilai rumusan ini berlebihan karena membuka tafsir luas bahwa serangan siber bisa dianggap ancaman terhadap kedaulatan negara. “Pasal makar ini rawan digunakan untuk menjerat kritik atau aktivitas digital warga,” ucap dia.
Selain itu, Pasal 62 sampai 64 yang mengatur ancaman pidana untuk pelaku serangan siber dinilai tidak proporsional karena menyamakan kategori ancaman teknis dengan ancaman kriminal berat. Koalisi menilai rumusan ini justru berpotensi mengkriminalisasi aktivitas digital yang tidak seharusnya dipidana.
Koalisi juga menilai perumusan pasal-pasal tersebut menandakan adanya upaya sistematis militerisasi ruang siber. Mereka merujuk pada revisi Undang-Undang TNI yang menambahkan tugas operasi militer selain perang untuk menangani ancaman siber. “Dengan gradasi ancaman yang tidak jelas, ruang keterlibatan militer bisa melebar ke semua aspek keamanan siber,” ucap dia.
Tak hanya itu, mereka menyoroti risiko abuse of power karena pelibatan TNI tidak diimbangi mekanisme akuntabilitas yang memadai. Hingga kini, Undang-Undang Peradilan Militer Nomor 31 Tahun 1997 belum diperbarui, sehingga pelanggaran pidana yang dilakukan anggota TNI tetap diproses di peradilan militer. “Kondisi ini justru memperbesar ancaman terhadap hak asasi manusia dan negara hukum,” tutur Wahyudi.
Secara terpisah, Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi Agtas menuturkan pemerintah saat ini masih menyusun draf RUU KKS. Apabila telah selesai disusun, kata dia, pemerintah akan mengajukan draf tersebut ke Dewan Perwakilan Rakyat untuk dibahas bersama. "Sesegera mungkin akan kami ajukan karena sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas)," kata Supratman dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat, dikutip dari Antara.
Dalam penyusunan draf RUU KKS, ia menjelaskan terdapat panitia antarkementerian yang terdiri atas Kementerian Hukum (Kemenkum), Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemenkomdigi), serta Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN). Jika nantinya draf telah rampung, sambung dia, Presiden Prabowo Subianto akan menunjuk salah satu dari kementerian/lembaga dalam tim tersebut untuk mewakili pemerintah pada pembahasannya. "Jadi seingat saya seharusnya sudah tidak ada lagi masalah," kata dia.
Terkait adanya pasal dalam RUU KKS yang menyebutkan bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) bisa melakukan penyidikan tindak pidana di bidang keamanan dan ketahanan siber, Supratman belum bisa berkomentar dan akan memeriksa terlebih dahulu. "Saya coba konfirmasi dahulu dengan Dirjen Peraturan Perundang-undangan atau bisa tanya soal hal itu kepada beliau," ucap dia.