Liputan6.com, Jakarta - Kegagalan dalam hidup bukan berarti tanda menyerah, melainkan bentuk keberanian untuk berdamai dengan kenyataan. Banyak orang mengira menerima sama dengan berhenti berjuang, padahal dari proses menerima itulah seseorang belajar untuk tetap bertahan.
Dokter spesialis kesehatan jiwa, dr. Hilda Marsela, Sp.KJ, mengatakan, kesalahpahaman soal makna menerima sering membuat seseorang terjebak dalam perasaan tidak berdaya.
"Kadang, ada yang memaknai menerima itu artinya menyerah. Menerima itu kita bisa tetap berjuang sambil kita memaknai kehidupan. Yang masih kita kendaliin kita perjuangin yang nggak bisa yaudah kita biarkan," katanya.
Dia, menekankan, penerimaan bukan berarti pasrah sepenuhnya, melainkan kemampuan untuk menilai kembali mana hal yang bisa diubah dan mana yang tidak. "Kalau kita udah memaknai cara pandangnya itu, yang bisa kita ubah adalah diri sendiri seperti sikap kita dan cara pikir kita," tambahnya.
Dalam konteks kehidupan sehari-hari, terutama saat menghadapi kegagalan, penerimaan menjadi kunci agar seseorang bisa pulih secara emosional. Dia, mengatakan, bahwa proses menerima memang tidak selalu mudah, tetapi itu adalah langkah pertama untuk bangkit kembali.
Langkah Awal adalah Mengakui Perasaan
Sering kali, orang yang mengalami kegagalan justru memaksa diri untuk cepat move on. Menurut Hilda, fase pertama yang harus dilakukan bukan menolak kesedihan, melainkan mengakuinya.
"Kalau kita mengalami kegagalan, yang pertama perlu kita lakukan adalah mengakui perasaannya. Kalau marah, silakan marah, teriak-teriak, nyanyi-nyanyi. Kalau sedih, silakan sedih. Ambil waktu dulu, biarkan diri kita sakit dan menikmati perasaan negatif itu," katanya.
Dia menegaskan bahwa menekan emosi hanya akan membuat luka batin bertahan lebih lama. Dengan memberi ruang pada diri sendiri untuk merasa, seseorang akan lebih mudah memahami sumber kegagalannya dan siap untuk melangkah lagi.
"Jangan buru-buru semangatin diri sendiri," tambahnya.
Membiarkan diri beristirahat secara emosional bukan tanda lemah. Justru, ini bentuk keberanian untuk menghadapi realita tanpa berpura-pura kuat.
Ubah Sudut Pandang
Setelah fase emosional mereda, langkah selanjutnya adalah mengubah cara pandang terhadap situasi. Hilda menjelaskan bahwa cara kita memandang kegagalan akan menentukan bagaimana kita bangkit darinya.
"Kalau kita udah lega, yang bisa kita lakukan adalah melihat banyak sisi dan ubah sudut pandang. Misalnya tangan kita, kita bisa memilih mau melihat telapak tangan atau punggung tangan," ujarnya.
Dengan mengalihkan fokus dari hal negatif ke hal positif, seseorang bisa menemukan kembali semangat untuk melanjutkan hidup. "Kegagalan itu bagian dari perjalanan kita yang panjang," katanya.
Dia, menambahkan, meski terkadang makna dari kegagalan tidak langsung terasa, setiap pengalaman akan menemukan artinya pada waktunya.
"Kalau lagi gagal, makna hidup kadang nggak bisa datang. Ya nggak apa-apa, nanti suatu hari pasti kita dapat maknanya," tambahnya.
Menghadapi Kenyataan
Bagi banyak orang, menghadapi kegagalan berarti harus berhadapan dengan kenyataan pahit. Dunia tidak berhenti berputar meski mereka sedang terluka.
"Pilihannya kita mau terus nangis atau lanjut perjalanan hidup, karena umur kamu akan bertambah setiap harinya, matahari akan terbit dan tenggelam," kata Hilda.
Kalimat itu menggambarkan pentingnya kesadaran bahwa kehidupan tidak menunggu siap. Bangkit bukan berarti sudah tidak sedih, melainkan memilih melanjutkan langkah meski masih sakit.
Dalam proses itulah seseorang belajar tentang ketahanan diri dan kebijaksanaan. Sebab, menerima bukan berarti berhenti, melainkan memahami bahwa setiap kegagalan adalah bagian dari perjalanan yang akan membawa kita pada versi diri yang lebih kuat.