
Direktur Imparsial, Ardi Manto Adiputra, menilai bahwa Indonesia tengah mengalami proses yang disebut sebagai rekonsilidasi militerisme, yakni menguatnya kembali peran militer dalam urusan-urusan sipil baik secara normatif maupun faktual.
“Terdapat gap yang tinggi antara karakter keadilan masyarakat dengan keputusan yang dikeluarkan oleh lembaga hukum di Indonesia. Menurut kami, saat ini yang sedang terjadi adalah rekonsilidasi militerisme,” ujar Ardi dalam Seminar Nasional Arus Balik Reformasi TNI di Tengah Krisis Demokrasi di Universitas Indonesia, Rabu (8/10).
Ia menjelaskan, rekonsilidasi militerisme terjadi ketika kelompok politik sipil dan elite militer secara bersama-sama mendorong dominasi peran militer dalam kehidupan sipil. Proses ini, katanya, bukan muncul tiba-tiba di era Presiden Prabowo Subianto, melainkan sudah berlangsung lama dan berkembang secara bertahap.
“Sejak 2024 kami sudah menyuarakan kembalinya militerisme di Indonesia. Namun, proses ini sebenarnya terjadi jauh sebelum Presiden Prabowo menjabat. Tahap pertama adalah normalisasi kehadiran militer di ranah sipil,” jelas Ardi.
Menurutnya, normalisasi itu dimulai melalui penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara TNI dan berbagai lembaga sipil. MoU tersebut menjadi dasar bagi kehadiran militer dalam kegiatan non-pertahanan seperti penyuluhan, pertanian, kesehatan, hingga pengamanan proyek-proyek strategis pemerintah.
“Hal seperti ini sudah marak terjadi sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2004. Tapi jumlahnya meningkat drastis pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo,” jelasnya.
Ardi memaparkan bahwa pada awal pemerintahan Jokowi tahun 2014, pihaknya mencatat hanya sekitar 33 MoU antara TNI dan lembaga sipil. Namun, angka itu meningkat hampir empat kali lipat dalam satu dekade.
“Di akhir 2024, jumlahnya sudah mencapai 133 MoU, dan sebagian besar dibuat pada masa pemerintahan Presiden Jokowi yang notabene adalah pemimpin sipil,” ungkapnya.
Menurut Ardi, lonjakan jumlah kerja sama tersebut menunjukkan adanya tren normalisasi dan penerimaan publik terhadap keterlibatan militer di bidang-bidang sipil.
“Ada seratus MoU baru antara TNI dan lembaga sipil yang dibuat dalam sepuluh tahun terakhir. Ini menandakan penguatan kembali peran militer di luar fungsi pertahanan,” katanya menegaskan.
Ia mengingatkan bahwa pola ini berpotensi mengikis batas antara ranah sipil dan militer yang telah ditegaskan dalam reformasi pasca 1998.
“Jika tren ini dibiarkan, masyarakat bisa kembali terbiasa dengan peran militer di ruang sipil, dan itu berisiko membawa Indonesia mundur ke arah militeristik,” ujarnya.
4.472 Prajurit Aktif
Ardi menambahkan, tahapan berikutnya dari rekonsiliasi militerisme adalah masuknya prajurit aktif TNI ke jabatan-jabatan sipil, sesuatu yang jelas bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI maupun Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025.
“Sepanjang tahun 2024, menurut data dari Mabes TNI, ada sekitar 4.472 anggota TNI aktif yang menduduki jabatan sipil. Lebih dari seratus di antaranya berada di instansi yang tidak diperbolehkan oleh undang-undang,” bebernya.
Ardi menilai penempatan prajurit aktif di jabatan sipil berpotensi mengganggu profesionalisme birokrasi.
“Prajurit aktif itu tetap memiliki loyalitas ganda: kepada atasan sipil dan kepada komandannya di institusi militer. Ini menimbulkan bias kepatuhan dan bisa mengganggu independensi kebijakan di lembaga sipil,” ujarnya.
Selain itu, Ardi juga menyoroti keterlibatan militer dalam urusan non-pertahanan seperti pertanian, pangan, dan pengamanan tambang. Ia menilai hal tersebut mengalihkan fokus militer dari fungsi utamanya dan sekaligus membuat sektor-sektor sipil kehilangan ruang untuk berinovasi.
“Ketika militer mulai ikut mengurus pertanian dan pangan, kementerian yang seharusnya bertanggung jawab justru menjadi abai. Akibatnya, sektor-sektor itu tidak berkembang karena pendekatannya bersifat komando, bukan inovatif,” jelasnya.
Menurut Ardi, kondisi ini berpotensi mengembalikan pola kekuasaan ala Orde Baru di mana militer memiliki pengaruh kuat dalam berbagai sektor pemerintahan.
“Jika dibiarkan, kita bisa melihat kembalinya kultur militeristik yang mengancam demokrasi dan supremasi sipil di Indonesia,” pungkasnya. (Dev/P-1)