FORUM Indonesia untuk Transparansi Anggaran atau FITRA mengkritik kebijakan donasi warga Rp 1.000 sehari dari Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi. Menurut peneliti FITRA Betta Anugrah Setiani, kebijakan itu berpotensi menjadi pungutan terselubung meski bersifat sukarela.
Sebenarnya, kata Betta, program itu diharapkan dapat mengajak masyarakat bergotong royong untuk berdonasi. Akan tetapi, Betta menilai prinsip gotong royong itu cenderung hilang saat Dedi Mulyadi mengeluarkan surat edaran tentangnya.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
"Kesan yang hadir kini justru nilai gotong royong itu seakan berubah ketika diinstitusionalisasi melalui surat edaran," kata Betta dalam keterangan tertulis, Rabu, 8 Oktober 2025.
Menurut Betta, surat edaran biasanya memiliki aspek mengikat secara internal di lembaga terkait. Dalam pengertian tersebut, masyarakat maupun instansi swasta tidak terikat secara hukum, namun dengan adanya surat edaran, instansi pemerintah berpeluang memaksakan pungutan dalam prakteknya karena merasa memiliki target.
Maka dari itu, FITRA merekomendasikan agar Pemerintah Provinsi Jawa Barat mencabut kembali surat edaran itu. "Pemprov sebaiknya tidak menggunakan narasi solidaritas masyarakat sebagai substitusi APBD," ucap Betta.
Dedi Mulyadi sebelumnya menjelaskan soal gerakan rereongan sapoe sarebu atau poe ibu yang diinisiasinya. Gerakan ini tertuang dalam Surat Edaran (SE) Nomor 147/PMD.03.04/KESRA. Dedi menandatangani surat itu pada 1 Oktober 2025.
Surat edaran itu juga ditujukan kepada bupati atau wali kota se-Jawa Barat, kepala perangkat daerah di lingkungan pemerintah daerah, serta kantor wilayah Kementerian Agama di Jawa Barat. Dedi menamakan kebijakan ini sebagai Gerakan Rereongan Sapoe Sarebu atau Poe Ibu.
Dedi mengatakan gerakan donasi warga Rp 1.000 per hari ini berbasis gotong royong dan sukarela. Dia mengatakan prinsip dasarnya gerakan donasi Rp 1.000 per hari ini ialah dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat.
Menurut Dedi, gerakan donasi Rp 1.000 sehari itu sebetulnya sudah menjadi tradisi di berbagai daerah di wilayahnya. Tradisi itu dinamakan beas perelek, beas jimpitan atau gerakan sehari seribu (gasibu). "Banyak ragamnya. Begitu saya menyampaikan itu, hari ini kan pada muncul orang memposting, di Tasik saya sudah lama Pak, di Garut sudah lama, di Subang sudah lama, artinya bahwa itu sebuah tradisi yang sudah berkembang," kata Dedi dalam kunjungan kerjanya di Depok, Rabu, 8 Oktober 2025.
Dedi mengaku hadir untuk mengkapitalisasi itu agar tradisi tersebut terdigitalisasi, artinya regulasi keuangannya nanti terlihat uang yang masuk maupun yang keluar, penerimanya dan disebutkan dengan transparan. "Karena di setiap sekolah itu, di kelas-kelas itu ada iuran kelas, uang kas kelas. Selama ini kan tidak pernah dijelaskan pada publik. Kita jelasin," kata Dedi.