DOSEN hukum tata negara dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, menegaskan bahwa putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) terhadap gugatan promotor dan ko-promotor disertasi Bahlil Lahadalia, yakni Chandra Wijaya dan Athor Subroto, tak lantas membatalkan pelanggaran etik yang terjadi.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Putusan yang dimaksud ialah keputusan hakim yang memerintahkan Rektor Universitas Indonesia untuk mencabut keputusannya tentang sanksi etik yang dijatuhkan kepada penggugat. Rektor UI memberikan sanksi kepada Chandra Wijaya dan Athor Subroto karena diduga melanggar etik dalam penyelenggaraan pendidikan S3 Bahlil.
Herdiansyah menjelaskan, pokok perkara dalam gugatan Chandra Wijaya dan Athor Subroto ini adalah surat keputusan rektor tentang sanksi, bukan hasil sidang etik mahasiswa S3 Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia yang dirumuskan oleh Guru Besar UI.
Itu artinya, kata dia, putusan PTUN Jakarta pada 1 Oktober 2025 tersebut hanya membatalkan pemberian sanksi. Pelanggaran etik oleh promotor dan ko-promotor disertasi Bahlil tetap ada. "Jadi intinya yang dibatalkan oleh PTUN itu adalah dokumen administrasi putusan rektornya, bukan pelanggaran etikanya," kata dia saat dihubungi pada Sabtu, 4 Oktober 2025.
Selain pokok perkara gugatannya berbeda, PTUN memang tidak memiliki otoritas apa pun dalam menilai problem etik sebuah proses akademik, termasuk dalam polemik disertasi Bahlil. Herdiansyah mengatakan PTUN hanya berwenang menilai hal-hal yang bersifat administratif saja, sementara penilaian substantif terkait dengan ada atau tidaknya pelanggaran etik, merupakan otoritas kampus sebagai penyelenggara pendidikan.
"Otoritas penuh untuk memandang, menentukan, dan melihat problem etika di dalam disertasi Bahlil ya institusi dalam UI, dalam hal ini Dewan Guru Besar yang kemarin sudah memutuskan," ujar dia.
Adapun Dewan Guru Besar UI waktu itu merekomendasikan kepada rektor untuk membatalkan tugas akhir atau disertasi Bahlil yang dinyatakan lulus pada 16 Oktober 2024 lalu. Hasil rapat pleno Dewan Guru Besar UI menyatakan terdapat empat pelanggaran dalam proses pendidikan doktoral Ketua Umum Partai Golkar itu.
Pelanggaran tersebut di antaranya ketidakjujuran dalam pengambilan data, di mana data penelitian disertasi diperoleh tanpa izin dari narasumber dan penggunaannya tidak transparan. Selain itu, terdapat pelanggaran standar akademik, di mana Bahlil Lahadalia diterima dan lulus dalam waktu singkat tanpa memenuhi syarat akademik yang ditetapkan.
Kemudian, sidang yang dihadiri 32 orang guru besar itu juga mengatakan bahwa Bahlil mendapat perlakuan khusus dalam proses akademik, termasuk keistimewaan dalam pembimbingan, perubahan mendadak penguji, hingga kemudahan dalam kelulusan. Selain itu, terdapat konflik kepentingan karena promotor dan kopromotor memiliki keterkaitan profesional dengan kebijakan yang diatur Bahlil saat menjabat sebagai pejabat negara.
Pada 4 Maret 2025, empat organ UI, yaitu Majelis Wali Amanat, Rektor, Dewan Guru Besar, dan Senat Akademik, memutuskan bahwa Bahlil Lahadalia harus menulis ulang disertasinya dengan topik baru sesuai standar akademik UI. Rektor UI Heri Hermansyah kemudian menindaklanjuti temuan tersebut dengan memberikan sanksi kepada promotor dan ko-promotor dengan jenis sanksi yang berbeda.
Kini, sanksi tersebut dibatalkan oleh hakim PTUN dengan dikabulkannya gugatan Chandra dan Athor. Dalam amar putusan gugatan yang dilayangkan Chandra, hakim menyatakan mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian. Sementara, gugatan Athor dikabulkan seluruhnya oleh hakim.
"Mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya, menyatakan batal Surat Keputusan Rektor Universitas Indonesia Nomor 475/SK/R/UI/2025 Tentang Penetapan Sanksi Administratif Terhadap Athor Subroto, S.E., M.M., M.Sc., Ph.D. dengan nomor urut pegawai 0607050201 tanggal 7 Maret 2025,” demikian yang tertulis dalam SIPP PTUN Jakarta.
Amar putusan tersebut juga mewajibkan tergugat untuk mencabut surat keputusan rektor UI tentang penetapan sanksi administratif terhadap Athor. Hakim turut memerintahkan Rektor UI untuk merehabilitasi nama baik serta kedudukan dan tugas Athor seperti semula. Hakim juga menghukum Rektor UI untuk membayar biaya perkara sebesar Rp 359 ribu.
Tempo telah menghubungi Rektor UI Heri Hermansyah untuk meminta tanggapan mengenai putusan ini. Namun hingga Sabtu siang, 4 Oktober 2025, pesan Tempo belum berbalas. Sebelumnya, Kepala Sub Direktorat Hubungan Media dan Pengelola Reputasi Digital UI, Emir Chairullah, menyampaikan kampus belum dapat berkomentar ihwal putusan tersebut.
“UI menghormati putusan yang dibuat PTUN Jakarta,” kata dia. Emir mengatakan UI belum menentukan langkah apa pun selain menghormati putusan.