GUBERNUR Jawa Barat Dedi Mulyadi menjelaskan soal gerakan rereongan sapoe sarebu atau poe ibu yang diinisiasinya. Gerakan ini tertuang dalam Surat Edaran (SE) Nomor 147/PMD.03.04/KESRA. Dedi Mulyadi menandatangani surat itu pada 1 Oktober 2025.
Menurut Dedi, gerakan donasi Rp 1.000 sehari itu sebetulnya sudah menjadi tradisi di berbagai daerah di wilayahnya. Tradisi itu dinamakan beas perelek, beas jimpitan atau gerakan sehari seribu (gasibu). "Banyak ragamnya. Begitu saya menyampaikan itu, hari ini kan pada muncul orang memposting, di Tasik saya sudah lama Pak, di Garut sudah lama, di Subang sudah lama, artinya bahwa itu sebuah tradisi yang sudah berkembang," kata Dedi dalam kunjungan kerjanya di Depok, Rabu, 8 Oktober 2025.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Dedi mengaku hadir untuk mengkapitalisasi itu agar tradisi tersebut terdigitalisasi, artinya regulasi keuangannya nanti terlihat uang yang masuk maupun yang keluar, penerimanya dan disebutkan dengan transparan. "Karena di setiap sekolah itu, di kelas-kelas itu ada iuran kelas, uang kas kelas. Selama ini kan tidak pernah dijelaskan pada publik. Kita jelasin," kata Dedi.
Pria yang karib disapa KDM itu melihat tiap harinya ada antrean warga berkunjung ke rumahnya, antara 500 sampai 1.000 orang. Mereka mengeluhkan BPJS aktif tetapi penyakitnya tidak tercover atau ongkos berobat, sehingga memerlukan biaya.
"Dia harus kemoterapi di Jakarta dari Cirebon sehingga butuh ongkos, ongkosnya gak punya. Terus kemudian dia di rumah sakit, selama di rumah sakit suaminya tidak kerja, istrinya kehilangan sumber bahan pangan untuk dikonsumsi dalam setiap hari, ini problem nih," kata Dedi.
Selanjutnya, problem anak sekolah tetapi tidak punya ongkos, sepatu dan segala macam kebutuhan selama menempuh pendidikannya. Adapun soal urusan hukum, ia mengatakan sudah ada yang siap dan gratis. "Yang urusan ini dari sistem anggaran itu kan gak bisa dianggarkan. Kenapa gak bisa dianggarkan, kan kita enggak bisa memprediksi nama Tati akan sakit dan tidak punya ongkos untuk berobat, enggak bisa," kata Dedi.
Dedi menegaskan, fiskal Pemprov Jawa Barat sudah cukup untuk menanggung biaya pendidikan dan kesehatan. Namun, di luar yang bersifat formal itu yang harus ditanggulangi. "Selama ini kalau di tempat saya, kan saya tanggulangi dengan dana operasional gubernur dan pendapatan pribadinya, selesai itu. Tetapi kan saya lihat kan yang kasus ini banyak, tidak hanya 500, bisa jadi tiap hari ribuan," kata Dedi.
Untuk menanggulangi keluhan tersebut, kata Dedi, tiap desa harus membuka ruang untuk warga mengadu dan jangan sampai diekspose ke media sosial.
"Kalau mengadu di media sosial itu cermin pemerintahan tidak berjalan. Maka, kepala desa saya minta buka, kepala kelurahan buka ruang pengaduan," kata Dedi. Ia pun meminta wali kota, bupati melakukan hal yang sama.
"Agar apa, agar rakyat Jawa Barat punya ruang untuk mengadu, pemimpin hadir di tengah-tengah, intinya itu. Kemudian edaran itu dibuat adalah imbauan untuk mengaktifkan kembali solidaritas sosial yang menurun," ujarnya.
Namun, Dedi menilai edaran itu digiring seolah-olah ia akan mengumpulkan uang per orang Rp 1.000. "Enggak ada, arena itu adanya di tingkat RT, di tingkat RW, di tingkat sekolah, di ruang kelas, adanya di situ, bukan di gubernur," kata Dedi.
Sedangkan, Dedi menambahkan, per hari ini ia sudah membuka ruang layanan di gedung sate namanya Bale Pananggeuhan."Itu sumber gubernur hanya satu aja, ASN di Provinsi Jawa Barat yang secara sukarela memberikan uang Rp1.000 untuk melayani warga yang membutuhkan di luar tanggungan APBD," ucap Dedi.