MAHKAMAH Konstitusi meminta pemohon uji materi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri) memperbaiki permohonannya. Mahkamah meminta perbaikan tersebut hingga tenggat waktu 8 Oktober 2025.
Permintaan ini disampaikan majelis hakim dalam sidang pemeriksaan pendahuluan perkara Nomor 167/PUU-XXIII/2025 yang dipimpin Ketua MK Suhartoyo pada Kamis, 25 September 2025. Gugatan ini didaftarkan seorang advokat, Windu Wijaya.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Suhartoyo menyarankan pemohon menyertakan hak konstitusional pemohon yang aktual dan potensial dilanggar dalam pelaksanaan tugasnya sehubungan dengan keberadaan Kapolri. “Jelaskan kerugian konstitusional yang lebih riil dan tidak dalam konteks sebagai pemilih. Hubungannya terlalu jauh,” kata Suhartoyo, dikutip dari kanal YouTube MKRI pada Jumat, 26 September 2025.
Suhartoyo memberikan waktu bagi pemohon selama 14 hari untuk menyempurnakan permohonannya. Naskah perbaikan permohonan dapat diserahkan selambat-lambatnya pada Rabu, 8 Oktober 2025, pukul 12.00 WIB. Kemudian MK akan menjadwalkan sidang kedua dengan agenda mendengarkan pokok-pokok perbaikan pemohon.
Hakim konstitusi Daniel Yusmic Pancastaki Foekh mengatakan kerugian konstitusional yang dialami pemohon sebagai advokat belum tampak dalam permohonan uji materi yang diajukan. “Jika hanya sebagai advokat ada hal-hal yang berhubungan langsung dengan Kapolri atau aparat kepolisian, ini harus dielaborasi sehingga ada kerugian konstitusionalitas. Serta ada hubungan sebab-akibat dari norma yang diujikan yang berhubungan dengan kedudukan hukum pemohon,” ujar Daniel.
Hakim konstitusi Guntur Hamzah memberikan catatan tentang pernyataan tidak ada kepastian hukum dalam permohonan, tapi pada petitum dinyatakan adanya konstitusional terhadap norma yang diujikan. “Jika dikatakan tetap konstitusional, berarti tidak ada kerugian yang dialami. Tidak ada masalah dengan norma, hanya memintakan kriteria, tapi itu tidak ke Mahkamah, melainkan ke DPR. Jadi bicara logika hukumnya,” tutur Guntur.
Windu Wijaya menggugat ketentuan pengangkatan dan pemberhentian Kapolri yang termuat dalam Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Windu mempersoalkan kewenangan Presiden dalam mengangkat dan memberhentikan Kapolri dengan persetujuan DPR.
Pasal 11 ayat (1) UU Polri menyatakan, “Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”. Windu menilai pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan, "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
Kuasa hukum Windu, Ardin Firanata, mengatakan, meski Mahkamah Konstitusi telah memberikan pertimbangan dalam putusan Nomor 22/PUU-XII/2015, pemohon mencermati dalam pengangkatan Kapolri oleh Presiden yang ada dalam ketentuan Pasal 11 ayat (1) dan (2) serta Penjelasannya hanya menyebutkan "dengan persetujuan DPR" tanpa merinci syarat, kriteria, atau alasan pengangkatan. Akibatnya, terjadi ketidakjelasan norma yang berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dalam praktik ketatanegaraan.
“Frasa ‘persetujuan DPR’ dalam norma Undang-Undang Polri tidak memberikan batasan yang jelas apakah persetujuan tersebut bersifat administratif untuk memastikan terpenuhinya syarat sebagaimana ditentukan Pasal 11 ayat (6) UU Polri,” kata Ardin.
Ardin mengatakan ketentuan ini menimbulkan kerugian konstitusional pemohon karena tidak adanya alasan hukum yang jelas mengenai dasar persetujuan atau penolakan DPR terhadap pengangkatan Kapolri. Dengan begitu, kewenangan Presiden dalam mengangkat Kapolri menjadi sepenuhnya bergantung pada persetujuan DPR tanpa kepastian hukum mengenai parameter atau alasan-alasan hukum yang dapat dijadikan dasar untuk menyetujui atau menolak pengangkatan Kapolri yang diusulkan oleh Presiden.
Pemohon meminta MK menyatakan frasa "persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat" dalam Pasal 11 ayat (1) UU Polri tetap konstitusional sepanjang memenuhi alasan yang sah, yakni 1) calon Kapolri adalah WNI dan perwira tinggi aktif dengan jenjang kepangkatan dan karier sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat 6 UU Polri; 2) calon Kapolri bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, UUD 1945, dan cita-cita proklamasi kemerdekaan; 3) calon Kapolri sehat jasmani dan rohani; dan 4) calon Kapolri memiliki integritas dan kepribadian yang baik dan tidak pernah dihukum atas pelanggaran etik Polri dan tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pilihan Editor: