Jakarta (ANTARA) - Data terbaru Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI) menggambarkan realitas yang memerlukan perhatian serius.
Pada 2025, sekitar 81 persen masyarakat Indonesia belum sepenuhnya terhubung dengan layanan keuangan formal.
Angka ini bukan sekadar statistik karena di baliknya ada jutaan cerita keluarga, petani, nelayan, dan pelaku UMKM yang berjuang memenuhi kebutuhan sehari-hari, tanpa akses memadai pada fasilitas keuangan modern.
Kesenjangan ini terlihat jelas antara perkotaan dengan perdesaan, di mana tingkat inklusi masyarakat desa jauh di bawah rata-rata nasional.
Sementara di kota, layanan digital banking, e-wallet, dan akses pembiayaan semakin mudah dijangkau, di banyak wilayah perdesaan, sebagian besar masyarakat, bahkan belum memiliki rekening bank.
Padahal, potensi ekonomi di tingkat akar rumput sangat besar, dengan jutaan pelaku UMKM menjadi tulang punggung perekonomian nasional.
Sayangnya, keterbatasan akses pembiayaan, investasi, dan layanan perbankan modern masih menjadi penghalang utama bagi masyarakat perdesaan untuk berkembang.
Kepala Departemen Ekonomi Keuangan Inklusif dan Hijau Bank Indonesia Anastuty K. menegaskan inklusi keuangan sebagai prioritas kebijakan nasional.
Menurutnya, inklusi keuangan tidak hanya tentang membuka akses terhadap produk perbankan, tetapi juga memastikan adanya pemahaman dan literasi masyarakat yang memadai.
Bank Indonesia senantiasa mendukung upaya-upaya menuju keuangan yang inklusif secara nasional melalui langkah kebijakan dan implementasi program edukasi inklusi keuangan yang menyasar kelompok-kelompok strategis, termasuk perempuan.
Hal ini menegaskan pentingnya pendekatan yang tidak sekadar menyediakan teknologi dan layanan, tetapi juga membangun pemahaman agar masyarakat dapat memanfaatkannya dengan bijak dan penuh kesadaran.
Transformasi digital hadir sebagai peluang, sekaligus tantangan besar. Teknologi memungkinkan layanan keuangan menjangkau lebih banyak masyarakat, termasuk mereka yang berada di wilayah terpencil.
Namun, keberhasilan digitalisasi tidak semata-mata ditentukan oleh ketersediaan aplikasi, melainkan juga kesiapan ekosistem, mulai dari literasi, perlindungan konsumen, hingga tata kelola yang akuntabel.
Tanpa pemahaman yang memadai, akses digital justru berpotensi memunculkan masalah baru, seperti pinjaman online ilegal, risiko penipuan, dan kerentanan terhadap eksploitasi finansial.
Direktur Ekonomi Digital CELIOS, Nailul Huda, menegaskan perlunya inovasi layanan keuangan yang sesuai dengan karakteristik dan perilaku masyarakat daerah.
Data menunjukkan inklusi keuangan masih sangat rendah, terutama di perdesaan. Dilandasi pemahaman yang mendalam akan perilaku dan kebutuhan masyarakat daerah, muncul kebutuhan untuk inovasi terkait penyediaan layanan keuangan di daerah.
Artinya, literasi dan inklusi keuangan harus berjalan seiring. Tanpa pendidikan finansial yang kuat, teknologi secanggih apa pun akan sulit memberikan dampak maksimal.
Replikasi contoh
Dalam konteks itu, berbagai inisiatif berbasis teknologi bermunculan, salah satu contohnya adalah model yang dikembangkan oleh Amartha Financial.
Entitas keuangan ini dalam 15 tahun terakhir mendampingi masyarakat akar rumput di lebih dari 50.000 desa. Pada perkembangannya, kini bertransformasi menjadi PT Amartha Financial Group setelah memperoleh izin uang elektronik dari Bank Indonesia.
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.