
KETUA Komisi II DPR RI, Rifqinizamy Karsayuda, menilai penyelesaian sengketa pemilu di Indonesia berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum. Untuk itu, Revisi Undang-Undang (RUU) No.7/2023 tentang Pemilu akan menyempurnakan hukum acara sengketa pemilu.
“Kita memerlukan adanya hukum acara sengketa pemilu di Indonesia, sebagaimana kita punya KUHAP untuk pidana. Hukum acara ini penting untuk menata kembali mekanisme penegakan hukum atas berbagai pelanggaran dan sengketa pemilu yang selama ini tumpang tindih,” jelas Rifqi dalam Seminar Kodifikasi UU Pemilu Usulan Masyarakat Sipil untuk Perbaikan pada Rabu (8/10).
Menurutnya, di UU Pemilu saat ini, objek perkara sengketa pemilu yang sama bisa dibawa ke berbagai lembaga hukum misalnya Mahkamah Konstitusi (MK) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Itu menciptakan ketidakpastian hukum bagi peserta pemilu maupun masyarakat.
“Setiap lembaga punya cara berbeda dalam menanganinya, dan ini menimbulkan ketidaksinkronan dalam sistem hukum kita,” ungkapnya.
Lebih jauh, Rifqi mengatakan penyelesaian sengketa pemilu yang berlarut-larut berdampak pada proses politik di daerah. Banyak kepala daerah terpilih tidak dapat segera dilantik karena masih menunggu keputusan hukum.
“Akibat tidak adanya kepastian waktu, banyak pejabat politik hasil pemilu tidak bisa dilantik bersamaan dengan pejabat lain sesuai jadwal. Ini terjadi karena proses pencarian keadilan dan penyelesaian hukum masih berjalan,” tuturnya.
Di samping itu, Rifqi juga menyoroti praktik Pemungutan Suara Ulang (PSU) yang kerap kali menjadi hasil putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sengketa hasil pemilu (PHPU). Menurutnya, PSU yang dilakukan berulang hingga dua atau tiga kali. Itu, kata dia, membuat kelelahan politik dan birokrasi di daerah.
“Proses PHPU di Mahkamah Konstitusi yang kerap menghasilkan PSU dua hingga tiga kali itu, menurut saya, harus kita sudahi. Itu membuat pencarian keadilan menjadi berbelit dan sangat melelahkan, baik bagi peserta pemilu maupun bagi kami di Komisi II DPR RI,” tegas Rifqi. (H-4)