
Kondisi geopolitik yang terus memanas menuntut Indonesia untuk segera berbenah memperkuat sistem pertahanan, khususnya di laut. Sebab sebagai negara kepulauan, salah satu kunci menjaga kedaulatan maritim ada pada kemampuan industri pertahanan dalam negeri.
Mantan Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana (Purn) periode 2014-2018, Ade Supandi menegaskan masa depan kekuatan maritim tidak bisa bergantung pada impor alutsista. Kemandirian industri juga perlu diutamakan, khususnya PT Penataran Angkatan Laut (PAL) Indonesia, sebagai fondasi utama membangun armada laut tangguh dan berdaulat.
"Ini harus ditopang instrumen pertahanan yang nyata. Nah, instrumen ini tidak bisa hanya dibeli, tapi juga harus kita bangun sendiri. Untungnya kita punya PT PAL yang sudah bisa bikin kapal perang, kapal selam, dan Landing Platform Dock (LPD)," ujar dia melalui keterangannya, Rabu (20/8).
Ade menjelaskan, kemampuannya dalam memproduksi alutsista laut sudah teruji sejak lama, bahkan sejak era Presiden B.J. Habibie, PT PAL telah mampu merakit kapal patroli cepat FPB-57. Kini, PT PAL berkembang dengan membangun kapal perang, kapal selam, serta landing ship tank (LST) dan landing platform dock (LPD) yang strategis bagi pertahanan laut RI.
PT PAL, kata dia, sudah melakukan langkah tepat untuk memprioritaskan pembuatan LPD, karena lebih sesuai dengan kebutuhan dan anggaran pertahanan. Mengingat fungsional LPD yang lebih banyak, seperti forward defense hingga mengangkut pasukan. "Memang lebih baik kita bangun LPD, kapal amfibi, atau kapal selam yang sesuai kebutuhan," jelasnya.
Menurut Ade, keberhasilan PT PAL juga tak lepas dari kerja sama dengan mitra internasional, seperti Damen Schelde Naval Shipbuilding (DSNS) asal Belanda, dan Rosyth Royal Dockyard Ltd (Babcock) asal Inggris. Namun ia menekankan, konsistensi kebijakan dan dukungan politik menjadi faktor penentu agar industri pertahanan dalam negeri tidak mundur.
"Sekarang persaingan lebih ketat. Banyak negara buka peluang kerja sama, Korea Selatan, Jepang, Eropa, Amerika. PT PAL sudah bekerja sama dengan Damen, Babcock Inggris, dan lainnya. Itu bagus, tinggal konsistensi dan keberanian kita menjaga agar industri ini tidak jalan mundur," tutur Ade.
Diketahui, PT PAL juga tengah bekerja sama dengan negara lain, salah satunya dengan Naval Group (Perancis) untuk membangun dua unit kapal selam Scorpene Evolve. Kemudian menjalin kemitraan dengan TAIS, galangan kapal asal Turki, untuk pengembangan platform kapal kombatan dan non-kombatan, serta penerapan offset di Indonesia.
Selain itu, dirinya juga mengingatkan agar industri pertahanan nasional tidak hanya dipandang sebagai pelengkap, melainkan harus dijaga agar terus tumbuh. Menurutnya, jika pemerintah tidak konsisten mendukung, industri strategis seperti PT PAL bisa terancam stagnan bahkan hilang.
"Industri pertahanan itu jangan sampai punah. Kalau sudah punah, kita akan sangat bergantung pada luar negeri. Padahal kemandirian adalah bagian dari harga diri bangsa," ujar Ade.
Di sisi lain, ia berpandangan agar pelaksanaan teknis industri pertahanan sebaiknya bisa lebih melibatkan swasta agar lebih lincah. Sementara tugas pemerintah adalah jadi jembatan, terutama untuk sensitive items seperti rudal, radar, mesin, yang memang harus lewat government-to-government (G2G).
"Industri pertahanan bisa saja BUMN, tapi pelaksanaannya sebaiknya dikasih ke swasta. Karena swasta lebih lincah, tidak tergantung APBN," terangnya.
Baginya, arah pembangunan kekuatan laut Indonesia bukan sekadar memperbanyak jumlah kapal, melainkan menata strategi pertahanan. Dengan penyebaran armada di titik-titik strategis, ditambah fasilitas pelabuhan yang memadai dan runway di pulau-pulau penting, Indonesia diyakini mampu menjaga kedaulatannya.
"Yang realistis adalah perkuat Koarmada 3, bangun LPD, kembangkan galangan," pungkas Ade. (E-3)