TIM Advokasi untuk Demokrasi Sektor Keadilan Pajak (TAUD-SKP) menilai Putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak gugatan terhadap beleid yang mengatur pajak pertambahan nilai (PPN) melanggengkan ketidakadilan sistem perpajakan.
Pada Kamis, 14 Agustus 2025, hakim MK menolak permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Beleid itu mengatur kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen. Putusan itu tertuang dalam Putusan MK Nomor 11/PUU-XXIII/2025
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Perwakilan TAUD-SKP Afif Abdul Qoyim mengatakan putusan itu semakin melegitimasi kebijakan PPN yang tidak berkeadilan, khususnya bagi masyarakat yang termasuk kelompok ekonomi lemah. Padahal, kata Afif, data PricewaterhouseCoopers (PwC) menyebut Indonesia termasuk salah satu negara dengan tarif PPN tertinggi di ASEAN.
“Masyarakat miskin, melalui pasal-pasal tentang PPN yang ada dalam UU HPP, dipaksa untuk membayar PPN dengan persentase yang lebih tinggi, apabila dibandingkan dengan kelompok orang super kaya atau crazy rich yang asetnya miliaran, bahkan triliunan,” kata Afif dalam keterangan tertulisnya, Jumat, 15 Agustus 2025.
Afif berpendapat, putusan itu membuka peluang penerapan tarif PPN sampai 15 persen tanpa dianggap telah melanggar konstitusi. Padahal, kata dia, tarif setinggi ini berpotensi melumpuhkan perekonomian nasional dengan memperburuk situasi PHK, menekan daya beli masyarakat, dan meningkatkan beban konsumsi rumah tangga miskin.
“Kebijakan PPN di Indonesia terkenal akan sifatnya yang dikenakan ke semua level dan regresif karena kurang memperhatikan kemampuan bayar di setiap desil pendapatan,” ujarnya.
Gugatan perkara 11/PUU-XXIII/2025 diajukan oleh nelayan Asmania, mahasiswa Fauzan Hakami dan Muhamad Agus Salim, karyawan swasta sekaligus penyandang disabilitas fisik Risnawati Utami, pedagang warung Rusin, pengemudi ojek online Warsiti Hajar, dan Yayasan Indonesia Mental Health Association. Sebanyak 33 orang menjadi penasihat hukum pemohon dan tergabung dalam Tim Advokasi untuk Demokrasi Sektor Keadilan Pajak.
"Menolak permohonan para pemohon nomor 11/PUU-XXIII/2025, baik dalam provisi maupun pokok permohonan," kata Ketua Mahkamah Konstitusi Suhartoyo saat membacakan amar putusan pada Kamis, 14 Agustus 2025 di Jakarta Pusat.
Para pemohon mempersoalkan penentuan kenaikan pajak pertambahan nilai sebesar 12 persen sebagaimana norma Pasal 7 ayat (1) huruf b dalam Pasal 4 angka 2 UU HPP.
Hakim konstitusi Ridwan Mansyur menjelaskan, undang-undang tersebut menentukan tarif PPN sebesar 11 persen mulai berlaku pada 1 April 2022, serta 12 persen yang berlaku paling lambat pada 1 Januari 2025. Ini merupakan perubahan atas pengaturan tarif pajak pertambahan nilai sebesar 10 persen yang belum diubah sejak terbitnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983. Perubahan demikian, lanjut dia, perlu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan negara.
Ridwan mengatakan, berdasarkan Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945, perubahan tarif pajak, termasuk PPN, dapat dilakukan sepanjang ditentukan dengan undang-undang. Sehingga pembentuk undang-undang menyepakati tarif PPN 11 persen yang berlaku pada 1 April 2022, serta 12 persen berlaku paling lambat pada 1 Januari 2025.
"Bersamaan dengan pemberlakuan perubahan tarif PPN tersebut, pemerintah memberlakukan pula insentif agar mengurangi beban bagi masyarakat," ujar Ridwan.
Ridwan juga menyoroti Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131 Tahun 2024 tentang Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas Impor Barang Kena Pajak, Penyerahan Barang Kena Pajak, Penyerahan Jasa Kena Pajak, Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean dan Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah (PMK 131/2024). Beleid itu, kata Ridwan, mengatur Dasar Pengenaan Pajak atau DPP Nilai Lain untuk menjaga beban PPN secara efektif. Sehingga tarif pajak pertambahan nilai tetap sama dengan ketika konsumen dibebani tarif PPN 11 persen.
"PMK 131/2024 tersebut tidak merevisi atau mengatur tarif, sebagaimana yang telah ditetapkan UU 7/2021 sebesar 12 persen, melainkan hanya untuk mengatur DPP nilai lain," ujar Ridwan.
Majelis hakim menyebut hal itu merupakan kewenangan yang diberikan undang-undang kepada Menteri Keuangan. Oleh karena itu, kata Ridwan, dalil pemohon yang menyatakan ada pertentangan antara UU HPP ihwal tarif PPN 12 persen berlaku 1 Januari 2025 dengan PMK 131/2024 adalah tidak benar.
"Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, kekhawatiran para pemohon yang mendalilkan adanya inkonsistensi antarperaturan adalah dalil yang tidak berdasar, sehingga harus dinyatakan tidak beralasan menurut hukum," ujar Ridwan Mansyur.
Amelia Rahima Sari berkontribusi dalam penulisan artikel ini