
KETUA Komisi I DPR RI, Utut Adianto menegaskan bahwa pengisian militer aktif atau TNI dalam jabatan sipil dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang TNI tak bertentangan dengan konstitusi. Ia mengklaim bahwa penyusunannya sudah mempertimbangkan supremasi sipil. Hal ini disampaikannya dalam sidang uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK).
Menurut Utut, Pasal 47 ayat (1) dan (2) UU TNI telah secara tegas membatasi ruang bagi prajurit TNI aktif untuk menduduki jabatan sipil.
“Pasal tersebut menetapkan batasan limitatif terhadap pengisian jabatan sipil oleh prajurit TNI yang masih aktif. Artinya, aturan ini berfungsi sebagai mekanisme pembatasan, bukan membuka peluang seluas-luasnya bagi TNI aktif untuk masuk ke ranah sipil,” ujarnya di Ruang Sidang MK Jakarta, Kamis (9/10).
Utut menjelaskan bahwa hanya 14 instansi pemerintah pusat yang dapat diisi oleh prajurit TNI aktif, dan semuanya memiliki karakteristik tugas yang menuntut kompetensi dan keahlian sesuai latar belakang militer.
“Ketentuan ini juga selaras dengan Pasal 19 Undang-Undang ASN yang memperbolehkan jabatan ASN tertentu diisi oleh prajurit TNI atau anggota Polri,” jelasnya.
Ia menegaskan bahwa pembatasan serupa juga diterapkan di berbagai negara-negara maju yang menganut sistem demokrasi.
“Dalam praktik internasional, pembatasan seperti ini juga berlaku di negara-negara demokrasi seperti Amerika Serikat, India, Prancis, dan Singapura, yang semuanya membatasi peran militer di ranah sipil melalui regulasi khusus. Jadi, aturan di Indonesia sejalan dengan standar demokrasi global,” kata Utut.
Terkait permohonan uji materi perkara nomor 68/PUU-XXII/2025 yang meminta penambahan frasa “dengan mengedepankan prinsip supremasi sipil”, Utut menilai permintaan itu tidak relevan.
“Prinsip supremasi sipil sudah tertuang secara eksplisit dalam UU TNI terbaru, sehingga tidak perlu ditambahkan lagi,” tegasnya.
Ia menjelaskan bahwa supremasi sipil sudah menjadi pedoman dalam sistem ketatanegaraan Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 10 UUD 1945.
“Kedua pasal itu menegaskan bahwa presiden memegang kekuasaan pemerintahan dan menjadi panglima tertinggi atas Angkatan Darat, Laut, dan Udara. Artinya, kendali atas militer tetap berada di tangan pemimpin sipil yang dipilih rakyat,” ujar Utut.
Dalam petitumnya, DPR RI meminta agar MK menolak seluruh permohonan uji materi yang diajukan para pemohon dan menyatakan mereka tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing).
“Selain itu, kami meminta agar MK menerima keterangan DPR RI secara keseluruhan dan menegaskan bahwa pasal yang digugat tetap memiliki kekuatan hukum mengikat,” tandasnya. (H-4)