Merawat Kesehatan Mental: Tanggung Jawab Bersama yang Sering Diabaikan

8 hours ago 3
informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online informasi terbaru berita terbaru kabar terbaru liputan terbaru kutipan terbaru informasi terkini berita terkini kabar terkini liputan terkini kutipan terkini informasi terpercaya berita terpercaya kabar terpercaya liputan terpercaya kutipan terpercaya informasi hari ini berita hari ini kabar hari ini liputan hari ini kutipan hari ini informasi viral online berita viral online kabar viral online liputan viral online kutipan viral online informasi akurat online berita akurat online kabar akurat online liputan akurat online kutipan akurat online informasi penting online berita penting online kabar penting online liputan penting online kutipan penting online informasi online terbaru berita online terbaru kabar online terbaru liputan online terbaru kutipan online terbaru informasi online terkini berita online terkini kabar online terkini liputan online terkini kutipan online terkini informasi online terpercaya berita online terpercaya kabar online terpercaya liputan online terpercaya kutipan online terpercaya informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online informasi akurat berita akurat kabar akurat liputan akurat kutipan akurat informasi penting berita penting kabar penting liputan penting kutipan penting informasi viral berita viral kabar viral liputan viral kutipan viral slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online
  Tanggung Jawab Bersama yang Sering Diabaikan (MI/Duta)

KESEHATAN mental sering menjadi bahan seminar, tetapi jarang menjadi agenda nyata di ruang-ruang rapat sekolah. Di tengah laju perubahan sosial, ekonomi, dan teknologi, para guru dan siswa, juga masyarakat, dipaksa beradaptasi dengan tekanan yang semakin kompleks.

Lingkungan yang kurang mendukung, relasi sosial yang rapuh, pola hidup yang tidak sehat, serta tuntutan psikologis yang berlebihan membuat kesehatan mental rentan terganggu. Ini bukan sekadar masalah personal, tetapi juga cermin dari sistem pendidikan yang belum sepenuhnya memahami bahwa kesehatan mental adalah fondasi kualitas belajar dan kehidupan sosial.

TANTANGAN PENDIDIKAN YANG MENEKAN DARI DUA ARAH

Sistem pendidikan kita kerap menuntut banyak hal dari siswa: tugas akademik yang menumpuk, kompetisi berlebihan, serta paparan media sosial tanpa literasi digital yang memadai. Akibatnya, muncul rasa cemas, depresi, bahkan trauma. Ironisnya, sekolah sering kali tidak menyediakan layanan konseling yang memadai. Kurangnya tenaga profesional dan minimnya program preventif membuat masalah ini baru terlihat saat sudah parah.

Guru pun menghadapi tekanan besar. Kebijakan pendidikan yang sering berubah menuntut mereka selalu adaptif, sementara administrasi yang menumpuk menggerus waktu untuk mendampingi siswa. Peran ganda di rumah—sebagai orangtua, pasangan, atau anak—menambah beban emosional. Peran guru yang seharusnya berfokus pada pembelajaran sering tereduksi menjadi sekadar memenuhi target administratif. Kondisi ini, dalam jangka panjang, merusak kesehatan mental guru dan mengikis kualitas hubungan guru–siswa.

Tekanan yang dialami siswa dan guru saling memengaruhi. Siswa yang tertekan sulit belajar efektif, guru yang lelah secara mental sulit memberi dukungan penuh. Lingkaran ini harus diputus jika pendidikan ingin berjalan optimal.

MERAWAT KESEHATAN MENTAL: ANTARA KESADARAN DAN KEBIJAKAN

Menjaga kesehatan mental memang tanggung jawab individu—dengan istirahat cukup, pola makan sehat, olahraga, relaksasi, dan membangun hubungan positif. Namun, membebankan seluruh beban pada individu tanpa memperbaiki sistem ibarat memaksa orang berenang di laut bergelombang tanpa pelampung.

WHO (2022) menekankan pentingnya intervensi di tingkat individu, sosial, dan struktural. Artinya, harus ada kebijakan pendidikan yang berpihak pada kesejahteraan psikologis. Mengelola stres bukan sekadar melakukan yoga atau mendengarkan musik; ia memerlukan jadwal belajar yang manusiawi, target kerja realistis, dan ruang aman untuk berdialog.

Sayangnya, di banyak sekolah, guru yang stres dianggap kurang tahan banting, siswa yang depresi dianggap lemah. Paradigma ini mengabaikan akar persoalan yang bersumber dari budaya sekolah dan kebijakan yang tidak peka terhadap aspek psikologis.

Hubungan sosial di sekolah sering menjadi sumber tekanan yang tak disadari. Perselisihan antarsiswa atau konflik antara guru dan atasan kerap dibiarkan tanpa mediasi sehat. Budaya hierarkis membuat penyelesaian konflik lebih banyak mengandalkan otoritas daripada dialog sehingga pihak yang lemah memilih diam meski secara emosional terluka.

Tekanan semakin berat ketika lingkungan sosial di luar sekolah, khususnya dunia maya, ikut memberi dampak. Interaksi tanpa batas di media sosial sering menjadi ajang perundungan, gosip, atau perbandingan hidup yang tidak realistis sehingga memicu rasa minder, cemas, bahkan isolasi sosial, terutama tanpa literasi digital yang baik.

Masalah yang muncul di ranah digital kerap terbawa ke sekolah, memperburuk konflik, dan menambah beban mental, menegaskan bahwa kesehatan mental dipengaruhi bukan hanya oleh interaksi di sekolah, tetapi juga oleh ekosistem sosial yang melingkupinya.

Hubungan yang buruk mengikis rasa percaya diri, memicu kecemasan, dan memengaruhi prestasi akademik maupun kinerja mengajar. Fokus berlebihan pada prestasi akademik tanpa memperkuat keterampilan sosial-emosional berpotensi menciptakan sekolah yang kaku—menghasilkan siswa berprestasi di atas kertas, tetapi rapuh menghadapi tantangan hidup.

MENETAPKAN TUJUAN: MENGUBAH MOTIVASI MENJADI KEBIJAKAN

Tujuan yang jelas dapat menurunkan rasa cemas dan meningkatkan produktivitas (Snyder dkk, 2002). Namun, tujuan ini harus selaras antara individu dan institusi. Siswa boleh punya impian pribadi, guru boleh menetapkan target profesional, tetapi jika sistem terus memaksakan target yang tidak realistis, tujuan tersebut justru menjadi sumber stres baru.

Keberhasilan merawat kesehatan mental di sekolah bergantung pada harmonisasi antara motivasi individu, dukungan sosial, dan kebijakan pendidikan yang manusiawi. Tanpa itu, saran mengelola stres hanya terdengar manis di permukaan, tapi sulit diwujudkan.

PELAJARAN DARI SMA SUKMA BANGSA BIREUEN

SMA Sukma Bangsa Bireuen mencoba membalik paradigma ini. Program senam bersama mingguan, refleksi guru, dan kelas Manajemen Konflik Berbasis Sekolah (MKBS) bukan sekadar tambahan agenda, tetapi juga strategi membangun budaya sehat, fisik dan mental.

Senam bersama lebih dari sekadar olahraga. Ia menjadi ruang sosial untuk melepas penat, berbagi tawa, dan merasakan kebersamaan di luar tekanan akademik. Momen seperti ini memiliki efek terapeutik—memutus rutinitas monoton dan memberi sinyal bahwa sekolah peduli kepada kebahagiaan warganya.

Sesi refleksi guru menjadi ruang aman untuk berbagi pengalaman, kegelisahan, bahkan kebingungan tanpa takut dihakimi. Keterbukaan ini memperkuat jejaring emosional antarpendidik, yang berimbas positif pada interaksi dengan siswa.

MKBS menegaskan bahwa kesehatan mental bukan sekadar ‘mencegah stres’, tetapi juga mengelola konflik secara produktif. Konflik adalah hal alami, tetapi tanpa keterampilan mengelolanya, ia bisa berkembang menjadi sumber stres kronis. MKBS membekali teknik mendengar aktif, menyampaikan keberatan tanpa memicu pertengkaran, dan membangun solusi bersama.

Namun, semua ini hanya berdampak jangka panjang jika dilaksanakan konsisten, didukung penuh manajemen, dan terintegrasi ke kebijakan sekolah. Tanpa itu, kegiatan ini berisiko menjadi seremonial yang kehilangan daya ubahnya.

PENUTUP: DARI KESADARAN MENUJU PERUBAHAN

Kesehatan mental tidak boleh hanya menjadi topik seminar tahunan. Ia harus menjadi bagian dari strategi pendidikan. Guru dan siswa berhak atas lingkungan belajar yang sehat secara emosional, bukan sekadar tempat mengejar target akademik. Jika hal itu diabaikan, kita berisiko melahirkan generasi yang pintar secara kognitif, tetapi rapuh secara emosional.

Merawat kesehatan mental berarti merawat masa depan—tanggung jawab kolektif yang memerlukan keberanian untuk mengubah budaya, kebijakan, dan cara pandang pendidikan. Tanpa langkah nyata dari semua pihak, wacana kesehatan mental akan tetap menjadi cerita setengah hati: dibicarakan, tapi tak pernah benar-benar diwujudkan.

Read Entire Article