Jakarta (ANTARA) - Belanja perpajakan atau tax expenditure kini menjadi sorotan utama dalam pengelolaan fiskal Indonesia.
Istilah itu merujuk pada potensi penerimaan pajak yang sengaja dikorbankan negara melalui berbagai fasilitas dan insentif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Dalam praktiknya, kebijakan ini digunakan sebagai instrumen fiskal tidak langsung sehingga untuk itu pemerintah tidak mengeluarkan dana tunai, tetapi memberi keringanan pajak agar sektor usaha dapat berkembang lebih cepat.
Namun, di balik niat baik tersebut, muncul pertanyaan besar mengenai efektivitas dan efisiensi kebijakan yang nilainya terus meningkat dari tahun ke tahun.
Pada tahun 2025, pemerintah memperkirakan nilai belanja perpajakan mencapai Rp530,3 triliun, melonjak 19 persen dibandingkan proyeksi awal sebesar Rp445,5 triliun. Angka ini bukan sekadar deret statistik, melainkan mencerminkan besarnya potensi penerimaan yang sengaja dilepas negara demi tujuan tertentu.
Untuk memberi perspektif, jumlah tersebut hampir setara dengan total belanja pendidikan nasional tahun 2025. Artinya, dalam logika fiskal, negara melepaskan sumber daya yang sebenarnya bisa membiayai berbagai program strategis seperti infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial bagi masyarakat menengah ke bawah.
Kenaikan belanja perpajakan yang signifikan menandakan adanya kecenderungan ekspansi kebijakan insentif fiskal dalam berbagai sektor. Pemerintah berupaya menjaga daya saing industri, menarik investasi, serta memperkuat iklim usaha di tengah ketidakpastian ekonomi global.
Namun, tanpa mekanisme evaluasi yang ketat, potensi terjadinya fiscal leakage yakni manfaat insentif yang tidak sebanding dengan biaya fiskalnya menjadi semakin besar. Apalagi, sebagian fasilitas pajak diberikan dalam bentuk pengurangan tarif atau pengecualian tertentu yang sulit diukur dampak langsungnya terhadap perekonomian riil.
Oleh karena itu, muncul pertanyaan mendasar yang tak bisa dihindari: apakah pengorbanan fiskal sebesar Rp530 triliun itu sepadan dengan manfaat yang diterima oleh perekonomian nasional?
Pertanyaan ini penting karena menyangkut pilihan kebijakan antara memberi keringanan bagi pelaku usaha atau memperkuat kemampuan fiskal negara dalam membiayai pembangunan jangka panjang.
Di tengah tekanan pembiayaan pasca-pandemi dan kebutuhan investasi publik yang meningkat, setiap rupiah penerimaan yang hilang harus benar-benar dapat dipertanggungjawabkan manfaatnya. Tanpa evaluasi berbasis data dan dampak nyata, kebijakan insentif pajak berisiko menjadi beban, bukan alat pembangunan.
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.