
KETUA Komisi II DPR RI, Rifqinizamy Karsayuda menilai sistem hukum kepemiluan di Indonesia saat ini menghadapi berbagai persoalan mendasar yang perlu segera dibenahi. Rifqi menyebut setidaknya ada tiga persoalan krusial dalam regulasi pemilu yang berdampak langsung terhadap kualitas demokrasi dan pelaksanaan pemilu di lapangan.
“Pertama, ada tumpang tindih norma dan ketentuan yang mengatur hal yang sama di dalam undang-undang yang berbeda. Misalnya, antara aturan pemilu legislatif dan pilkada, termasuk PKPU, sering kali mengatur hal yang berbeda dan itu menghasilkan kekacauan,” ujar Rifqi dalam Seminar Kodifikasi UU Pemilu Usulan Masyarakat Sipil untuk Perbaikan pada Rabu (8/10).
Masalah kedua, lanjut Rifqi, adalah banyaknya norma yang multitafsir dalam berbagai peraturan terkait pemilu, baik di tingkat undang-undang maupun regulasi teknis penyelenggara.
“Banyak norma yang multitafsir sehingga di lapangan para penyelenggara sering mengalami kebingungan. Hal ini kemudian berdampak pada ketidakpastian dalam penegakan aturan,” jelasnya.
Ia mencontohkan, salah satu persoalan yang muncul akibat regulasi yang tidak sinkron adalah pengaturan masa kampanye yang sangat terbatas, yaitu hanya sekitar 65 hingga 75 hari. Batasan ini, menurutnya, tidak realistis jika dibandingkan dengan dinamika sosial dan politik di lapangan.
“Dengan pembatasan masa kampanye yang ketat dan banyak larangan di dalamnya, para politisi sering kali terjebak pada situasi di mana kegiatan yang bersifat sosialisasi dianggap sebagai pelanggaran kampanye. Padahal secara substansial itu tidak selalu bisa dikategorikan sebagai pelanggaran,” ujarnya.
Selain itu, Rifqi juga menyoroti problem politik praktis yang belum terakomodasi dengan baik dalam peraturan perundang-undangan. Ia menilai, kondisi ini kerap memicu perbedaan tafsir antar lembaga serta menciptakan ketidakpastian hukum di tingkat daerah.
Untuk menjawab kompleksitas tersebut, Komisi II DPR RI tengah mendorong pembentukan kodifikasi hukum pemilu, yang akan menyatukan seluruh peraturan kepemiluan dalam satu sistem hukum terpadu.
“Ini bukan hanya pekerjaan legislasi, tetapi pembenahan total terhadap sistem demokrasi kita,” ungkap Rifqi.
Menurutnya, kodifikasi ini akan mencakup seluruh aspek pemilu, mulai dari partai politik, pemilihan presiden dan legislatif, hingga pemilihan kepala daerah.
“Kodifikasi hukum pemilu ini memuat seluruh rantai sistem kepemiluan, dari hulu ke hilir. Bab pertama akan bicara tentang partai politik mulai dari syarat pembentukan hingga pembubaran, karena tanpa partai politik yang kuat dan terinstitusionalisasi, kita tidak mungkin menghasilkan pemilu yang baik,” katanya.