MAHKAMAH Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan perkara Nomor 162/PUU-XXIII/2025 pada Senin, 22 September 2025. Perkara ini menguji Pasal 240 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang mensyaratkan calon anggota DPR dan DPRD cukup berijazah sekolah menengah atas (SMA) atau sederajat.
Para pemohon meminta MK menaikkan standar pendidikan calon wakil rakyat menjadi minimal strata satu (S1). Mereka berargumen syarat pendidikan SMA tidak sebanding dengan peran DPR sebagai pembentuk undang-undang yang menentukan arah negara.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
“Ketidaktahuan hukum di jantung pembentuk hukum merugikan rakyat. Pendidikan tinggi melatih berpikir kritis, menimbang bukti, dan menyusun argumen—kompetensi yang relevan bagi legislator,” ujar pemohon dalam sidang dikutip dari akun Youtube resmi MK, Selasa, 23 September 2025.
Dalam pokok permohonannya, pemohon menilai rendahnya standar pendidikan membuka pintu bagi parlemen yang minim kapasitas. Akibatnya, produk legislasi kerap tumpang tindih, diskriminatif, dan dibatalkan MK. Mereka juga menunjukkan hasil survei yang diajukan sebagai bukti: lebih dari 90 persen responden menolak syarat minimal SMA, dan mayoritas mendukung kenaikan syarat menjadi sarjana.
Majelis hakim panel yang dipimpin Saldi Isra mengingatkan bahwa norma serupa sudah berulang kali diuji di MK, salah satunya pada putusan 154/PUU-XXIII/2025 namun ditolak. “Ini yang kayak begini selama ini tidak dikabulkan. Perjuangannya harus ke pembentukan Undang-Undang (DPR),” kata dia.
Hakim anggota Arsul Sani menambahkan ada preseden tokoh nasional yang menurut dia sukses meski tanpa gelar sarjana. Ia menyebut Presiden Abdurrahman Wahid, Presiden Megawati Soekarnoputri hingga Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. “Kita punya Gus Dur, Megawati, dan Susi yang bukan sarjana, tapi prestasinya diakui. Itu harus dijawab dengan argumentasi kuat,” ujar dia.
Sidang ditutup dengan opsi bagi pemohon untuk memperbaiki permohonan dalam waktu 14 hari, yakni hingga 6 Oktober 2025 pukul 12.00 WIB. Jika tidak diperbaiki, perkara ini berpotensi bernasib sama dengan perkara sebelumnya yang ditolak MK.