HENDRY Kumink, koki dapur program makan bergizi gratis (MBG) di Kabupaten Bogor, Jawa Barat mengisahkan kesehariannya masak di dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi atau SPPG. Salah satu keluhannya adalah sulitnya mengatur tenaga kerja dari SPPG. Mereka, kata Hendry, hanya ingin bekerja sesuai aturan yaitu 8 jam.
Akibatnya, pekerjaan dapur kerap menumpuk dan Hendry harus lembur hingga lebih dari 12 jam demi memastikan makanan untuk ribuan anak tetap tersedia. “Baru opening sehari, gue chef sendiri dengan orang-orang kampung sekitar. Benar haknya kerja 8 jam, tapi masakan belum selesai semua. Akhirnya gue kerjain dibantu owner dan SPPG lain sampai jam 12.30 siang baru beres. Padahal masak mulai jam 12 malam,” kata Hendry saat dikonfirmasi pada Sabtu, 27 September 2025.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Hendry menuturkan, kebiasaan karyawan dapur ingin segera pulang membuat sebagian besar makanan diproses jauh lebih awal, bahkan sejak dini hari. “Emak-emak masak semua makanan dari awal biar jam 6 pagi bisa pulang. Akhirnya makanan sudah ready jam 4 pagi,” ujarnya.
Masalahnya, kata Hendry, makanan basah seperti sayuran hanya bisa bertahan maksimal enam jam. Jika dikonsumsi murid SMP atau SMA yang istirahat siang (sekitar jam 12.00 siang), makanan berisiko basi dan berpotensi menyebabkan keracunan. “Makanya kebanyakan kasus keracunan MBG dialami anak SMP, SMA, atau SMK,” katanya.
Menurut Hendry, pemerintah perlu membuat aturan baru yang mewajibkan keberadaan tenaga profesional di setiap dapur MBG, minimal seorang chef dan asistennya. “Ahli gizi paham soal gizi, tapi enggak paham bagaimana eksekusi masakan dalam jumlah besar. Kalau ada chef pro, ritme kerja dapur bisa lebih teratur, enggak asal buru-buru biar cepat pulang,” ujar Hendry.
Meski penuh tekanan, Hendry tetap merasa lega ketika guru-guru penerima makanan MBG di Bogor menyebut masakannya enak dan disukai anak-anak. “Capek hilang pas dengar kabar anak-anak suka. Itu yang bikin gue semangat,” katanya.