OMBUDSMAN Republik Indonesia menilai skala dampak demonstrasi pada akhir Agustus hingga awal September 2025 membuktikan adanya kegagalan negara dalam memastikan jaminan keamanan publik yang proporsional dan akuntabel. Ketua Ombudsman Mokhammad Najih mengatakan negara tidak berhasil merespons setiap rencana unjuk rasa, baik sebelum kegiatan, pada saat kegiatan, maupun setelah kegiatan.
“Padahal secara prosedur oleh kepolisian yang mempunyai kewenangan di bidang penanganan ini sudah ada SOP (standar operasional prosedur) terkait, tetapi ini masih ada pra-kegiatan yang belum disiapkan dengan baik,” kata Najih dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi XIII DPR, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin, 29 September 2025.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Ombudsman mencatat gelombang unjuk rasa itu menimbulkan korban jiwa, terdiri dari 1.363 orang terluka dan 4.667 orang ditangkap. Selain itu, Ombudsman mencatat kerugian akibat kerusakan fasilitas publik senilai Rp 847,8 miliar.
Selain itu, Ombudsman menemukan praktik penundaan berlarut, minimnya transparansi, diskriminasi perlakuan, hingga dugaan tindakan berlebihan aparat atau excessive use of force. “Kondisi ini masuk kategori maladministrasi dalam penyelenggaran pelayanan publik yang wajib diperbaiki secara sistemik, khususnya di kepolisian dan instansi terkait,” kata Najih.
Ombudsman juga mencatat dari 4.667 demonstran yang ditangkap, sebanyak 3.753 orang telah dipulangkan, 131 orang ditetapkan sebagai tersangka dan 372 orang masih ditahan. Menurut Ombudsman, data ini mencerminkan skala besar penanganan aksi demonstrasi oleh aparat keamanan di berbagai wilayah, serta menunjukkan perbedaan perlakuan hukum sesuai dengan tingkat keterlibatan massa aksi.
“Perbedaan perlakuan terhadap peserta aksi antara yang dipulangkan, ditahan dan ditetapkan tersangka itu tanpa penjelasan yang memadai bagi semua pihak,” ujar Najih.
Ia mengatakan perbedaan perlakuan itu menunjukkan ketidakpastian hukum dan berpotensi melanggar asas persamaan hak di depan hukum.
Ombudsman juga menemukan belum adanya mekanisme nasional untuk menjamin perawatan medis dan perlindungan hukum bagi korban sipil. Hal ini, kata Najih, menegaskan ada pengabaian atau kelalaian negara di dalam pemenuhan hak dasar warga.
Meskipun Pemerintah Provinsi Jakarta sedang menyusun peraturan gubernur terkait dengan penanggungan perawatan terhadap korban demonstrasi, Najih menilai itu belum cukup. “Sehingga perlu ada kebijakan nasional yang seragam yang harus segera diberlakukan,” kata dia.
Najih mengatakan Ombudsman masih akan terus melanjutkan pemeriksaan ataupun pemantauan terhadap kinerja instansi yang terlibat dalam gelombang demonstrasi itu. Selain itu, Ombudsman bakal menyusun rekomendasi perbaikan yang bersifat sistemik.
Pada 25 Agustus 2025, unjuk rasa besar-besaran berlangsung di depan Kompleks DPR, Jakarta. Mereka mengkritik kinerja DPR dan tunjangan yang diterima anggota dewan. Unjuk rasa di Jakarta berlanjut pada Kamis, 28 Agustus 2025. Namun, demonstrasi kedua itu berujung ricuh ketika kendaraan taktis Brimob melindas pengemudi ojek online, Affan Kurniawan, hingga tewas.
Kematian Affan lantas menyulut amarah masyarakat. Sejak peristiwa malam itu hingga 31 Agustus 2025, sejumlah fasilitas publik, kantor polisi, dan kantor anggota DPRD dibakar massa. Peristiwa itu terjadi di Jakarta dan beberapa daerah. Gelombang demonstrasi ini menyebabkan kematian setidaknya 10 warga sipil. Sementara itu, ribuan orang ditangkap dan ratusan orang dari pelbagai wilayah telah ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi.