
KOORDINATOR Nasional Aliansi Laki-laki Baru (ALB), Wawan Suwandi, menegaskan bahwa konsep maskulinitas tradisional sering menjadi penghalang bagi laki-laki untuk berperan aktif dalam aktivitas domestik, seperti pekerjaan rumah tangga.
“Berbagi beban rumah tangga bukan berarti laki-laki ‘kurang laki’. Justru itu menunjukkan kualitasnya sebagai pasangan dan ayah,” ujar Wawan dalam diskusi media bertajuk Perjalanan Menuju Merdeka dari Bias Gender yang digelar di OCBC Tower, Jakarta, pada 13 Agustus 2025.
Wawan menjelaskan bahwa maskulinitas tradisional seringkali mengharuskan laki-laki berada dalam posisi dominan, baik dalam peran mencari nafkah, berfungsi sebagai kepala keluarga, maupun dalam hal kekuatan fisik. Ia mengajak masyarakat untuk melihat maskulinitas dari perspektif baru yang lebih setara, dengan menekankan pentingnya berbagi peran, menghargai kesetaraan, dan menghindari perilaku merendahkan perempuan.
Ia memberikan contoh perilaku sehari-hari yang tanpa disadari mencerminkan ketimpangan gender, seperti suami yang lebih banyak menghabiskan waktu untuk bermain game atau menekuni hobi, sementara istri harus mengurus anak dan pekerjaan rumah tangga sendirian.
Maskulinitas yang Mendukung Kesetaraan Sering Dianggap Tabu
Wawan juga mengakui bahwa laki-laki yang mendukung kesetaraan sering dicap sebagai pelanggar norma atau bahkan dianggap tidak sesuai ajaran agama. Ia menegaskan bahwa pandangan semacam ini justru merupakan cara untuk melanggengkan budaya patriarki dan bukan penerapan nilai agama yang sejati.
“Proses perubahan maskulinitas bukanlah hal yang mudah. Laki-laki yang telah terbiasa dengan doktrin ‘laki-laki harus mendominasi’ selama puluhan tahun tidak bisa berubah hanya dengan pelatihan singkat,” ujar Wawan. Ia menambahkan bahwa perubahan ini memerlukan konsistensi, baik di ruang publik maupun dalam kehidupan rumah tangga.
Perlunya Kebijakan untuk Mengubah Maskulinitas Tradisional
Dwi Yuliawati, Kepala Program UN Women Indonesia, menyarankan bahwa perubahan dalam konsep maskulinitas harus didukung oleh kebijakan yang mendukung kesetaraan gender. Salah satu kebijakan penting yang disebutnya adalah pemberian cuti ayah (paternity leave) yang memadai, serta jam kerja fleksibel dan program work-life balance.
“Kebijakan ini akan membantu laki-laki dan perempuan untuk berbagi tanggung jawab, sehingga beban pengasuhan tidak terpusat hanya pada perempuan,” tegas Dwi.