MENTERI Kebudayaan Fadli Zon menjelaskan soal pernyataan kakek Presiden Prabowo Subianto lebih cocok disebut sebagai Bapak Koperasi daripada mantan Wakil Presiden Muhammad Hatta atau Bung Hatta.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Fadli Zon sebelumnya mengatakan Margono Djojohadikusumo, pendiri Bank Negara Indonesia (BNI), lebih tepat disebut sebagai Bapak Koperasi Indonesia. Sedangkan ia mengatakan Bung Hatta sebagai Bapak Ekonomi Kerakyatan.
“Itu pendapat saja. Karena menurut saya Bung Hatta itu lebih besar dari sekedar Bapak Koperasi. Bung Hatta itu Bapak Ekonomi Kerakyatan. Bung Hatta itu perancang, ekonom, pemikir, intelektual,” kata Fadli Zon di kompleks parlemen DPR/MPR, Senayan, Jakarta, 15 Agustus 2025.
Menurut Fadli, atribusi Bung Hatta lebih baik tinggi karena sebagai Bapak Ekonomi Kerakyatan. “Jadi atribusinya itu lebih dari Bapak Koperasi. Itu yang saya katakan. Jadi Bung Hatta itu Bapak Ekonomi Kerakyatan,” katanya.
Pernyataan Fadli Zon berawal ketika mengisi acara bedah buku Margono Djojohadikusumo: Pejuang Ekonomi dan Pendiri BNI 46 karya Jimmy. S Harianto dan H.M.U. Kurniadi di Kompas Institute, Jakarta, 9 Agustus 2025. Saat itu Fadli Zon mengatakan Margono lebih tepat disebut Bapak Koperasi, sedangkan Bung Hatta Bapak Ekonomi Kerakyatan.
Menurut Fadli, Margono merupakan tokoh yang sangat dekat dengan koperasi. Margono pernah menjadi ketua Jawatan Koperasi pada masa kolonial Hindia Belanda.
Wakil Menteri Koperasi Ferry Juliantono juga pernah mengatakan visi pembentukan 80.000 unit Koperasi Desa Merah Putih sejalan dengan pemikiran Margono Djojohadikusumo. Koperasi Merah Putih merupakan program prioritas Presiden Prabowo Subianto.
“Bapak Margono Djojohadikusumo adalah perumus rencana pembangunan semesta berencana, pembangunan desa dan koperasi, terlibat industri dari hulu hingga hilir,” kata Ferry dikutip dari keterangannya di Jakarta pada Jumat, 20 Juni 2025, seperti dilansir dari Antara.
Dikutip dari esi.kemdikbud.go.id, Raden Mas Margono Djojohadikusumo adalah putra dari Asisten Wedana di wilayah Banyumas, Jawa Tengah. Apabila silsilah keluarganya ditelusuri, maka Margono merupakan cicit dari Raden Tumenggung Banyak Lebar atau lebih dikenal dengan sebutan Panglima Banyakwide, seorang pengabdi setia Pangeran Diponegoro.
Margono adalah seorang priyayi yang lahir di Purbalingga, Jawa Tengah, pada 16 Mei 1894. Pada masa itu, dia termasuk bumiputera yang beruntung karena bisa belajar di lembaga pendidikan resmi.
Pada 1900, Margono menempuh pendidikan dasar Europeesche Lagere School (ELS) hingga tamat pada 1907. Setelah itu, dia mengikuti ujian masuk atau klein ambtenaar sekolah pegawai negeri sipil Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) di Magelang, Jawa Tengah, selama 4 tahun.
Sesudah menuntaskan studi di OSVIA pada 1911, Margono bekerja menjadi juru tulis di Banyumas. Tak lama setelah itu, dia diangkat menjadi juru tulis Asisten Wedana Banyumas di Pejawaran. Pada 1912, dia kembali diangkat menjadi juru tulis di Kantor Kejaksaan Cilacap, Jawa Tengah. Beberapa bulan menjadi juru tulis di Cilacap, dia mengikuti pelatihan sebagai pejabat pegawai dinas atau Volkscredietwezen.
Setelah bekerja di Kantor Kejaksaan Cilacap, Margono naik jabatan menjadi pegawai dinas di Madiun, Jawa Timur. Pada 1930, dia dipindahkan ke Malang, Jawa Timur, lalu ke Jakarta tak lama setelahnya. Dia bertugas di kantor besar Algemene Volkscredietbank atau bank pekreditan rakyat.
Karier Margono yang semakin moncer membuatnya dikirim ke Belanda oleh Kementerian Urusan Jajahan pada 1937. Di sana, dia bekerja dengan mempelajari laporan dari pemerintahan Hindia Belanda. Setelah itu, Departemen Urusan Ekonomi Hindia Belanda memintanya pulang ke Tanah Air akibat keterbatasan tenaga kerja.
Margono lalu bertugas di Departemen Urusan Ekonomi hingga Indonesia dikuasai oleh Jepang pada 1942. Begitu Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, dia mendapat amanah menjadi Ketua Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS), yang tugasnya membantu memberikan nasihat kepada presiden dan wakil presiden.
Margono mengusulkan agar dibentuk sebuah bank sentral atau bank sirkulasi, seperti yang dimaksud dalam Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945. Sukarno dan Mohammad Hatta kemudian memberikannya mandat untuk mengerjakan persiapan pembentukan Bank Sentral (Bank Sirkulasi) Negara Indonesia pada 16 September 1945.
Pada 19 September 1945, sidang Dewan Menteri memutuskan untuk membentuk sebuah bank milik negara yang berfungsi sebagai bank sirkulasi. Hingga akhirnya pada 15 Juli 1946, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 1946 tentang Pembentukan Bank Negara Indonesia (BNI) diterbitkan. Sejalan dengan hal tersebut, Margono ditunjuk sebagai Direktur Utama BNI. Pada 1970, status hukum bank BNI dinaikkan menjadi persero.
Melynda Dwi Puspita berkontribusi dalam penulisan artikel ini